Lihat ke Halaman Asli

Wiwik TriErnawati

Pemerhati masalah sosial

Tiga Srikandi di Pilkada Jawa Timur, Simbol Emansipasi atau Strategi Populisme?

Diperbarui: 5 September 2024   07:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar:Antaranews.com

Pendaftaran cagub-cawagub Pilkada 2024 secara serentak telah ditutup oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang berlangsung pada 27 hingga 29 Agustus 2024. Nantinya, para pasangan bakal cagub-cawagub Pilkada 2024 yang telah mendaftar akan menjalani pemeriksaan administrasi dan kesehatan oleh KPU Daerah untuk ditetapkan sebagai calon pasangan cagub-cawagub provinsi di Pilkada 2024. Penetapan pasangan cagub-cawagub dilakukan pada 22 September 2024, sementara pemungutan suara Pilkada 2024 akan dilaksanakan secara serentak pada 27 November 2024.

Dalam perkembangan politik yang tak terduga, Pilkada Gubernur Jawa Timur tahun ini diwarnai oleh fenomena unik: seluruh calon yang berlaga dalam kontestasi politik ini adalah perempuan. Hal ini memicu perhatian publik, baik di tingkat lokal maupun nasional, serta membuka diskusi baru tentang peran perempuan dalam politik Indonesia.

Dengan hadirnya tiga tokoh perempuan di panggung politik Pilkada Jawa Timur, daerah ini menjadi sorotan sebagai simbol kemajuan keterwakilan perempuan dalam politik. Fenomena ini semakin menguatkan tren meningkatnya jumlah perempuan yang berpartisipasi aktif dalam proses politik, dari level lokal hingga nasional.

Ketiga calon tersebut adalah sosok yang sudah tidak asing lagi di dunia politik. Mereka memiliki latar belakang yang kuat sebagai pemimpin, baik dalam birokrasi pemerintahan, organisasi sosial, maupun partai politik. Keberadaan mereka dalam Pilkada ini mencerminkan kemajuan yang signifikan dalam perjuangan kesetaraan gender, di mana perempuan tidak hanya dianggap mampu mengelola rumah tangga tetapi juga layak untuk memimpin sebuah provinsi besar seperti Jawa Timur.

Dengan fenomena yang menarik pada Pilkada Gubernur Jawa Timur, keterlibatan tiga tokoh perempuan tersebut  dalam kontestasi politik mengundang perhatian banyak pihak. Masyarakat kerap menyebut mereka sebagai "Srikandi", mengacu pada kisah pewayangan yang menggambarkan perempuan-perempuan tangguh. 

Fenomena ini memunculkan pertanyaan: apakah ini bisa disebut sebagai fenomena feminisme dalam konteks politik Indonesia? Untuk menjawabnya, kita perlu melihat dari berbagai sudut pandang, termasuk sejarah politik perempuan, stereotip gender, politik identitas, peran media, dan pendekatan feminisme itu sendiri.

1. Sejarah dan Keterwakilan Perempuan dalam Politik

Secara historis, politik di Indonesia, terutama di level pemerintahan daerah, masih didominasi oleh laki-laki. Namun, dengan keterlibatan tiga tokoh perempuan atau "Srikandi" dalam kontestasi politik tingkat provinsi, kita melihat perubahan pola pikir masyarakat dan partai politik mengenai keterlibatan perempuan dalam politik.

Feminisme di Indonesia tidak hanya sebatas pada upaya untuk meningkatkan kesetaraan gender dalam sektor publik dan privat, tetapi juga untuk membuka ruang bagi perempuan agar terlibat dalam proses pengambilan keputusan di berbagai level, termasuk politik. Partisipasi perempuan dalam Pilkada menunjukkan bahwa perempuan semakin mampu memecahkan hambatan struktural yang selama ini menghalangi mereka untuk berperan dalam politik.

Perempuan Indonesia memiliki sejarah panjang dalam keterlibatan politik. Salah satu tokoh paling terkenal adalah Raden Ajeng Kartini, yang menjadi simbol emansipasi perempuan sejak era kolonial. Setelah kemerdekaan, Indonesia juga menyaksikan kehadiran tokoh perempuan seperti Megawati Soekarnoputri yang menjadi presiden perempuan pertama di Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline