Pendaftaran cagub-cawagub Pilkada 2024 secara serentak telah ditutup oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang berlangsung pada 27 hingga 29 Agustus 2024.
Nantinya, para pasangan bakal cagub-cawagub Pilkada 2024 yang telah mendaftar akan menjalani pemeriksaan administrasi dan kesehatan oleh KPU Daerah untuk ditetapkan sebagai calon pasangan cagub-cawagub provinsi di Pilkada 2024.
Penetapan pasangan cagub-cawagub dilakukan pada 22 September 2024, sementara pemungutan suara Pilkada 2024 akan dilaksanakan secara serentak pada 27 November 2024.
Dalam perkembangan politik yang tak terduga, Pilkada Gubernur Jawa Timur tahun ini diwarnai oleh fenomena unik: seluruh calon yang berlaga dalam kontestasi politik ini adalah perempuan. Hal ini memicu perhatian publik, baik di tingkat lokal maupun nasional, serta membuka diskusi baru tentang peran perempuan dalam politik Indonesia.
Dengan hadirnya tiga tokoh perempuan di panggung politik Pilkada Jawa Timur, daerah ini menjadi sorotan sebagai simbol kemajuan keterwakilan perempuan dalam politik. Fenomena ini semakin menguatkan tren meningkatnya jumlah perempuan yang berpartisipasi aktif dalam proses politik, dari level lokal hingga nasional.
Ketiga calon tersebut adalah sosok yang sudah tidak asing lagi di dunia politik. Mereka memiliki latar belakang yang kuat sebagai pemimpin, baik dalam birokrasi pemerintahan, organisasi sosial, maupun partai politik.
Keberadaan mereka dalam Pilkada ini mencerminkan kemajuan yang signifikan dalam perjuangan kesetaraan gender, di mana perempuan tidak hanya dianggap mampu mengelola rumah tangga tetapi juga layak untuk memimpin sebuah provinsi besar seperti Jawa Timur.
Dengan fenomena yang menarik pada Pilkada Gubernur Jawa Timur, keterlibatan tiga tokoh perempuan tersebut dalam kontestasi politik mengundang perhatian banyak pihak.
Masyarakat kerap menyebut mereka sebagai "Srikandi", mengacu pada kisah pewayangan yang menggambarkan perempuan-perempuan tangguh.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan: apakah ini bisa disebut sebagai fenomena feminisme dalam konteks politik Indonesia?