Lihat ke Halaman Asli

Wiwik TriErnawati

Pemerhati masalah sosial

Bicara Kekerasan Seksual di Balik Subordinasi Peserta Didik dan Dominasi Guru

Diperbarui: 2 Desember 2023   20:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi

Fenomena gunung es kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan seolah tidak terjamah dan seolah tidak terlihat. Ini terindikasi dari terjadinya  kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, pada  kurun waktu beberapa tahun terakhir dari level pendidikan SD, SMP, SMA sampai Perguruan Tinggi.

Respon masyarakat terhadap banyaknya kasus kekerasan seksual yang belum terungkap,  seolah menjadi bom waktu yang menimbulkan kekuatiran. Pemerintah pun diminta bergerak cepat menindaklanjuti pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dengan peraturan pemerintah sebagai turunannya.

Dari data yang dipaparkan oleh Simfoni- PPA ( Kemenpppa,  2023)  jumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di tahun 2023  sebanyak 14.759, dimana sebanyak 13.162 kasus terjadinya kekerasan seksual pada perempuan.

Rentetan panjang kasus di lembaga pendidikan secara langsung tentu telah menodai lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat pembentukan karakter anak bangsa dan pembinaan jati diri, menjadi sorotan buruk di mata masyarakat karena adanya ketidaknyamanan dari peserta didik.

Salah satu faktor penyebab tindakan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan adalah adanya sistem yang sudah mengajar dimana peserta didik sebagai pihak subordinasi yang tidak mempunyai bargaining power dan sebaliknya Guru sebagai pihak yang mendominasi karena merasa memiliki  kekuasaan dengan berbagai bentuk intimidasi dan ancaman pada nilai, dianggap peserta didik yang tidak patuh dan stigma sebagai anak nakal atau pembangkang. Selain itu pelaku/oknum guru juga merasa berhak berlaku sewenang-wenang pada peserta didik. Pada akhirnya kekuasaan dan wewenang pelaku membuat korban merasa tidak berdaya, trauma dan takut melapor.

Bicara mengenai kekerasan di lembaga pendidikan, bukan persoalan yang mudah terutama dalam menyamakan persepsi dan gerak langkah para pendidik mengenai bentuk-bentuk kekerasan seksual, ranah kekerasan seksual dan bagaimana batas-batas hubungan yang wajar antara peserta didik dengan gutu. Jangan mengatakan dan berlindung dibalik guru adalah pengganti orang tua di sekolah, jadi sewajarnya mengekspresikan tindakannya sebagai bagian  dari ungkapan rasa kasih sayang dan perhatian.

Peserta didik apalagi mereka yang sudah berada di bangku SMA bukan anak kecil yang harus selalu mendapatkan over perhatian dan harus selalu ada sentuhan-sentuhan fisik untuk menunjukkan perhatian seorang guru. Anak disekolahkan karena orang tua menganggap tempat yang paling aman, nyaman dan memberikan perlindungan terhadap bentuk-bentuk penyimpangan.

Di sisi lain karena guru dianggap pihak yang mempunyai kekuasaan dan wewenang dalam proses pembelajaran, tidak seharusnya bersikap arogan dan menggunakan berbagai bentuk intimadasi terhadap peserta didik khususnya perempuan dalam pengurangan nilai, tidak naik kelas dan lain-lain.

Sebagai langkah antisipasi jika terjadi kasus tindak kekerasan seksual di sekolah, maka sekolah harus bergerak cepat, mereapon, koordinasi dengan orang tua, melindungi peserta didik sebagai korban, dan membantu proses pelaporan. Jangan membiarkan masalah ini dianggap sebagai permasalahan kecil dan sepele serta jangan ditutup tutupi.

Edukasi ke peserta didik untuk berani speak up jika menjadi korban kekerasan seksual sangat diperlukan untuk pencegahan dan antisipasi agar tidak terjadi kasus-kasus kekerasan seksual berikutnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline