Lihat ke Halaman Asli

Wiwik TriErnawati

Pemerhati masalah sosial

Menggarisbawahi Bullying sebagai Torehan Luka

Diperbarui: 24 Juli 2022   06:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Peringatan hari anak nasional pada tanggal 23 Juli 2022 dengan meriah dan riang gembiranya disambut oleh semua anak Indonesia, tetapi disisi lain ada hati yang teriris ketika buah hatinya meninggal dengan cara yang mengerikan. 

Kasus demi kasus bullying yang menimpa pada diri anak dan sebagian besar terjadi di lingkungan sekolah menjadi catatan serius dan menjadi PR besar bagi semua pihak khususnya mereka yang terlibat di lingkungan lembaga pendidikan.

Kasus bullying bagai gunung es sehingga dianggap sebagai peristiwa yang biasa tetapi dampaknya sangat dalam dan berpengaruh besar pada tumbuh kembang pembentukan kepribadian anak. 

Beberapa solusi banyak ditulis dan ditawarkan untuk mengatasi permasalahan bullying pada anak, namun saat ini belum ada titik cerah kalau kasus bullying tidak terjadi lagi.

Bullying, berawal hanya sekedar guyonan dipupuk terus sehingga menjadi suatu hiburan tersendiri bagi anak-anak dan puncaknya dianggap sebagai keberhasilan karena mampu membuat temannya menangis, takut bahkan sedikit demi sedikit mulai menjauhi lingkungannya. Pada titik tertentu akhirnya membuat hal yang menyakitkan dan menimbulkan luka batin pada diri anak.

Apakah ada permintaan maaf dari teman-temannya ketika dampak dari bullying itu terjadi. Jawabnya "Tidak". Apakah bpk/ibu guru berupaya secara maksimal agar dampak trauma pada anak hilang dan memberikan pendampingan secara intens. Jawabnya "Tidak". Anak-anak korban bullying yang justru distigma sebagai anak yang berkepribadian yang introvert, tidak gaul, tetlalu pendiam, cengeng dan banyak labeling lainnya.

Banyak orang tua yang anaknya pernah menjadi korban bullying akhirnya bersikap pasrah dengan kondisi dan berupaya sendiri dalam.memulihkan trauma pada anak. Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, perlu proses bertahun tahun untuk menumbuhkan tingkat kepercayaan diri pada anak.

Beberapa cara memang sudah dilakukan oleh pihak sekolah sebagai bentuk tanggung jawab dan kepedulian terhadap permasalahan bullying, yaitu pada kegiatan MPLS (Masa Perkenalan Lingkungan Sekolah) siswa baru dengan mensosialisasikan bullying baik makna, cara dan upaya menghindarinya. Apakah cara tersebut dianggap cara yang efektif dan seolah-olah kita berharap tidak akan terjadi kasus bullying lagi.

Sepertinya kita melupakan peran keluarga dalam sosialisasi dan pembentukan kepribadian seorang anak. Jika di dalan keluarga, baik orang tua ataupun anggota keluarga lainnya tidak memberikan contoh sikap iri atau membenci pada diri sesorang dan bagaimana cara mengeksperikan rasa iri dan kebencian tersebut terhadap seseorang, saya yakin anak tidak akan pernah membully temannya. Jika didalam keluarga, anak tidak diperkenalkan dengan kata-kata makian kasar, saya yakin anak akan bersikap lembut terhafap temannya.

Akhirnya kita dapat menarik benang merahnya, tanamkan hal-hal baik dan positif pada anak, berempati dan bersikap lembut ketika berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain, saya yakin kasus bullying sedikit akan berkurang.

Marilah kita bergandeng tangan untuk menyatukan visi dan.misi kita menyelamatkan.generasi milineal menjadi pribadi yang lebih manusiawi dan berempati dengan kondisi orang lain.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline