Lihat ke Halaman Asli

Keberagaman Sebagai Simbol Kesetaraan Partisipasi Warga

Diperbarui: 20 Agustus 2024   18:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

travel kompas

 Beberapa hari lalu kita agak kaget dengan peristiwa pelarangan jilbab (lepas jilbab)  bagi peserta putri saat pengukuhan Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) di Ibu Kota Nusantara (IKN) pada peringatan Kemerdekaan Indonesia ke 79. Berita ini menjadi viral dan menimbulkan polemic di sebagian masyarakat.

Seiring waktu, kebijakan lepas bagi Paskibraka itu memang telah usai. Di balik itu ada sisi lain yang layak dipikirkan bersama. Terutama bila kita lihat peristiwa itu, yang paling berisik bereaksi adalah kalangan konservatif yang tidak hanya mengkritik kebijakan tersebut tapi menebarkan isu bahwa pemerintah menganut anti islam atau islamfofia di tengah bangs akita yang sangat pluralis.

Ironisnya kaum konservatif ini sering bersikap anti pluralis. Kita bisa melihat pada kebijakan pemerintah daerah yang jajarannya banyak terdiri dari kaum konservatif memiliki Perda yang mengharuskan siswi untuk memakai jilbab. Mereka mengatasnamakan mayoritas di atas minoritas. Hal lain, kaum-kaum itu juga juga sering memberikan penolakan atas symbol agama tertentu. Semisal pemakaian atribut natal seperti topi santa yang kerap dipakai oleh pelayan toko sampai marketing sebuah produk di tempat umum.

Hal seperti ini sering menjadi masalah tersendiri karena kaum konservatif itu melakukan standar ganda untu dua tau tiga hal yang sehakekat. Melarang memakai jilbab atau memaksakan jilbab  adalah hal yang punya makna  sama.

Semua warga termasuk kaum konservatif seharusnya sadar bahwa negara kita punya prinsip keberagaman. Kesadaran pada keberagaman inilah yang harus diimplementasikan pada aksi nyata dan bukan karena kecenderungan melihat mayoritas minoritas. Sehingga kita bisa punya stardar yang sama soal keberagaman itu sendiri.

Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang mampu mengelola keberagaman, karena keberagaman di Indoensia sangat kompleks dan berpotensi mengalami perpecahan. Namun negara lain melihat sampai pada usia Indoensia yang 79, keberagaman itu tetap terpelihara. Diakui bahwa factor penganggu seperti yang saya jabarkan di atas memang ada, namun kita harus terus upayakan agar keberagaman itu terkelola dengan baik.

Karena keberagaman dalam sebuah negara adalah symbol kesetaraan partisipasi warga.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline