Lihat ke Halaman Asli

Jangan Sibuk Pertentangkan Agama dan Negara

Diperbarui: 9 Agustus 2022   00:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

reuters

Sekitar 10 tahun lalu, kita sering menjumpai narasi-narasi soal ISIS di media sosial, facebook atau telegram. Narasi-narasi itu sering memperlihatkan atau mengungkapkan bahwa negara dengan dasar syariat Islam akan segera terwujud. Karena itu mereka meminta dukungan umat Islam untuk berjuang bersama dengan ISIS di Suriah.

Narasi-narasi itu sebagian bersifat membujuk, tapi sebagian sangat provokasi. Membujuk di sini dalam konteks mereka diminta dengan halus untuk meninggalkan negaranya untuk bersedia bergabung dengan ISIS di Suriah antara lain dengan gaji besar, kehidupan layak dengan suasana keislaman yang kental, dll. Banyak pihak yang memang akhirnya terbujuk dan pergi ke Suriah. Ada seorang remaja Jerman dikisahkan oleh media Jerman terbujuk narasi ini, tapi dia menyesal dan ingin kembali, namun situasinya sangat sulit untuk kembali ke Jerman, bahkan orangtuanya yang ingin menjemputnya berada di Yordania tanpa ada kepastian untuk bertemu.

Ratusan bahkan mungkin lebih dari seribu warga Indonesia terbujuk dan terprovokasi narasi mereka. Apalagi mereka selalu menekankan bahwa jika ISIS menang, maka negara baru itu akan berlandaskan syariat Islam dimana keadilan dan kemakmuran akan menjadi tujuan utama mereka. Bujukan dan provokasi ini ternyata ampuh bagi orang-orang Indonesia yang belum paham arti bangsa dan negaranya, termasuk Pancasila. 

Kini setelah ISIS kalah dan impian mereka buyar, nasib mereka terkatung-katung di Suriah, sebagian dipenjara oleh pemerintah resmi Suriah dan tidak bisa kembali ke Indonesia karena mereka sudah membakar paspor mereka. Pemerintah Indonesia sendiri juga telah menutup pintu untuk mereka.

Dari kasus ini kita bisa paham, bahwa seringkali kaum radikal memakai paham/ideologi sebagai alat pembujuk. ISIS adalah salah satu golongan yang "memakai" syariat Islam sebagai pemikat, dan itu ternyata ampuh.  Mereka sering mempertentangkan antara agama dengan negara; ideologi Pancasila dan ideologi agama.

Di Indonesia, pemerintah dianggap thogut dan Pancasila dianggap syirik. Ini seringkali jadi bahan untuk menyebarkan faham transnasional yang radikal , baik di sekolah, di kampus maupun di pengajian-pengajian eksklusif kaum ibu-ibu. Pikatan ini "dimakan" oleh mereka dan akhirnya faham ini menyebar dengan cepat sehingga terjadi fenomena orang berangkat ke Suriah itu.

Belajar dari buyarnya cita-cita ISIS dan fenomena cara Taliban mengelola Afganistan, apakah pihak yang punya anggapan salah soal negara dan Pancasila terus mempertahankan prinsipnya yang salah? Apakah tidak lebih baik belajar dari ABB yang di usia senjanya melihat kembali Pancasila dan kedudukan negara dan memperbaiki prespektifnya yang keliru selama ini?

Kita butuh energi besar untuk maju ; Pendidikan yang baik untuk generasi muda, teknologi yang memadai untuk mempermudah pekerjaan, lingkungan yang harus dimanfaatkan sekaligus diselamatkan. Aneka tantangan itu sebenarnya memerlukan energi besar dari kita dan hanya bisa diraih jika kita siap. Jika kita hanya sibuk mempertentangkan agama dan negara, kita semakin kehabisan energi untuk bergerak maju. 

Mau ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline