Lihat ke Halaman Asli

Dakwah dan Semangat Kemanusiaan

Diperbarui: 19 Desember 2020   05:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

antarafoto

Sejak seorang ulama yang pergi ke Saudi Arabia karena suatu kasus dan kembali ke Indonesia sekitar tiga tahun setelahnya, ulama yang juga habib itu kembali membuat kegaduhan yang akhirnya melibatkan masyarakat dan pihak kepolisian. Untuk rincian atau kronologi kejadian itu mungkin sebagian besar orang yang  tidak mengikuti kaar itu bisa mengeceknya di internet.

Muhammad Rizieq Shihab mungkin punya banyak pengikut di Indonesia terlebih di Jakarta. Namun ulama ini sangat berbeda dengan Quraish Shihab meski memiliki nama fam yang sama. Nama Quraish Shihab yang juga merupakan professor ini sangat dengan citra ulama cendikia, santun, dan moderat. Dia juga pernah menjadi birokrat yaitu ketika menjadi salah satu Menteri di Kabinet Pembangunan VII.

Sedangkan HRS -- begitu Rizieq Shihab biasa dipanggil- cenderung provokatif dan tendensius. Bahkan tak jarang mengajak umat dan pengagumnya untuk bersikap provokatif pula dalam dakwah-dakwahnya. Narasi besarnya terutama soal politik yang sering menyerang kebijakan pemerintah dan hasutan kebencian kepada pihak lain.

Ini sering membuat perpecahan di kalangan masyarakat terutama karena mereka belum melek literasi dan punya ilmu agama terbatas sehingga sering terjebak pada ujaran kebencian dan provokatif dari para ulama seperti ini.

Dalam titik ini mungkin kita teringat Gus Dur, seorang ulama yang meski bukan seorang Habib atau keturunan nabi namun menampilkan ke khasan seorang ulama Indonesia. Dia juga seorang yang fenomenal karena semangat pluralismenya, yang tidak menganggap kaum yang berbeda sebagai musuh tetapi cenderung bisa duduk dan berdiri bersama-sama dengan mereka sebagai satu bangsa.

Meski pernah dimusuhi pemerintah pada zaman Orde Baru, Gus Dur yang memiliki sepertiga umat Islam di Indonesia tidak pernah menyebarkan hasutan provokatif. Pemerintah Orde Baru yang saat itu membatasi ruang gerak keislaman di Indonesia malah menemui jalan buntu ketika reformasi hadir.

Pada Desember ini, bulan dimana Gus Dur wafat hampir sepuluh tahun yang lalu kita patut merefleksikan pemikirannya soal semangat keagamanaan yang menjunjung kebersamanaan. Dalam dakwah-dakwahnya dan sikapnya terhadap negara, Gus Dur juga memakai semangat agama dengan berbasis lokalitas seperti halnya Wali Songo.

Kita bisa melihat hal ini dari soal Papua. Soal Papua adalah contoh dimana pemikiran Gus Dur sejatinya sudah bisa menembus batas --batas keerbedaan dengan menjunjung kemanusiaan. Bukankah hakekat keagamaan adalah berbasis kemanusiaan ?

Karena itu pada momentum kali ini mungkin kita bisa merefleksikan kembali, mana dakwah-dakwah yang memang harus dicermati mana dakwah yang bisa kita ikuti. Dakwah yang mengedepankan provokasi harus kita cermati ulang, sedang dakwah dengan semangat kemanusiaanlah yang harus kita ikuti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline