Pada akhir tahun 2009 , Indonesia dikejutkan dengan perburuan Detasemen Khusus 88 (densus) Indonesia yang melumpuhkan teroris paling dicari oleh Indonesia dan Malaysia kala itu yaitu Noordin M. Top. Sebelumnya yaitu pada tahun 2005 teroris yang paling dicari juga dilumpuhkan yaitu Dr Azhari bin Husin.
Keduanya adalah gembong teroris asal Malaysia yang paling dicari aparat karena keterlibatannya pada aksi teroris yang sudah terjadi di Indonesia yaitu bom bali dan beberapa aksi pengeboman lain yang menimbulkan banyak korban jiwa. Noordin M Top lahir di Johor, sedangkan Dr Azhari lahir di Negeri Melaka, Malaysia.
Yang jadi pertanyaan adalah: kenapa mereka melakukan aksi biadab itu di Indonesia dan bukan di negara mereka sendisi ?
Salah satunya adalah karena Indonesia (waktu itu) belum memiliki payung hukum tegas untuk melindungi rakyatnya terhadap terorisme. Kejahatan terorisme bisa ditindak jika aparat memiliki alat bukti cukup untuk menangkap mereka. Jika tidak cukup punya alat bukti dan hanya berdasarkan informasi dan alat bukti maka aparat tidak berhak untuk menindaknya.
Hal kedua penyebab tumbuh suburnya terorisme dan radikalisme adalah kondisi masyarakat kita yang sangat terbuka dan ramah terhadap pendatang atau orang asing. Rerata penduuk kita tidak punya pikiran negative terhadap penduduk asing . Aparat juga begitu. Mereka lebih mempersoalkan hal-hal teknis seperti izin tinggal dan masalah-masalah keimigrasian dibanding dengan mengetahui atau menyelidiki apa yang diperbuat mereka di Indonesia.
Sementara itu Malaysia sudah memiliki Internal Security Act (ISA) sejak 1960 yang termasuk daln Common Law System bersama dengan Inggris dan Australia. Mereka bisa bertindak unuk meringkus para teroris itu ketika mereka masih merencanakan aksi teroris, berdsarkan informasi awal aksi mereka. Para perencana aksi terorisme itu bisa dijerat pasal-pasal di ISA. Karena ketatnya system hukum mereka, sehingga aksi terorisme tidak bisa berkembang baik di negera-negara itu karena hanya dengan merencanakan saja, mereka sudah bisa ditangkap.
Sedangkan system hukum Indonesia seperti yang sudah diterangkan di atas system hukum kita masuk kategori Civil Law System yang ada di koridor sistem hukum pidana positif. Dimana aparat hanya bisa bertindak berdasar alat bukti dan aksi terorisme itu.
Sehingga, revisi Undang-Undang tentang Terorisme yang baru disahkan pemerintah bersama DPR kemarin adalah penyempurnaan terhadap UU yang sudah ada yaitu UU no 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. UU no 15 itu merupakan UU pengganti dari Perppu nomor 1 tahun 2002 yang dikeluarkan sesaat setelah terjadinya Bom Bali 1 yang mengakibatkan 200 orang tewas termasuk orang asing. Setelah kejadian itu Indonesia disorot dunia atas keamanan dan jaminan keselamatan warga asing dan warna Indoensia sendiri. Dengan disahkannya revisi UU adlah penyempurnaan dari payung hukum Indonesia untuk lindungi masyarakat dari bahaya terorisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H