Indonesia merupakan negara multikultur, dengan berbagai macam budaya. Indonesia juga mempercayai beberapa agama. Karena itulah, negara memberikan kebebasan sepenuhnya kepada setiap warga negara, untuk memeluk agama berdasarkan keyakinannya masing-masing. Dalam perkembangannya, Indonesia menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar. Fakta inilah, yang akhirnya banyak dimanfaatkan oleh kelompok radikal, untuk menyebarkan paham radikal keagamaan, di tanah Indonesia.
Mungkin kita masih ingat, ketika banyak masyarakat Indonesia yang berbondong-bondong ke Suriah. Migrasi umat muslim ke daerah konflik ini, tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga hampir di setiap negara. Mereka memutuskan ke Suriah, untuk bergabung dengan ISIS. Perpindahan ini diklaim sebagai bentuk solidaritas sesama muslim, dan upaya untuk melakukan jihad, berjuang di jalan Allah. Ironisnya, proses migrasi yang mereka maknai sebagai hijrah ini, tidak hanya dilakukan oleh para lelaki dewasa, tapi juga perempuan bahkan anak-anak.
Sesampainya di Suriah, mereka justru bukan diajarkan kebaikan, sesuai yang diajarkan ajaran agama. Mereka justru dihadapkan pada konflik negara tersebut, yang tidak dipahami. Namun, doktrin yang salah terus terima. Akibatnya, banyak diantara saudara kita dari Indonesia, yang menjadi generasi radikal ketika berada di Suriah atau Irak, yang menjadi basisnya ISIS. Bahrun Naim, yang disebut sebagai otak peledakan bom Thamrin awal tahun lalu juga berada di Suriah. Abu Jandal, anak dari bomber Imam Samudra, akhirnya meninggal di usia belia, ketika terlibat sebuah pertempuran di Suriah.
Sebuah fakta yang tidak bisa dibantah lagi, anak-anak Indonesia juga diajarkan bagaimana latihan perang. Meski masih kecil, mereka sudah diajarkan bagaimana memegang senjata api, bahkan mereka sering terlibat dalam aksi peledakan bom bunuh diri. Militan ISIS sempat mengunggah proses latihan perang ini di sosial media. Dalam video tersebut, juga terlihat anak-anak dipaksa untuk membakar paspor Indonesia. Sungguh ironis. Anak-anak yang seharusnya merasakan keceriaan, justru dipaksa untuk mehamani ajaran radikalisme.
Fakta diatas menunjukkan bahwa, hijrah dari Indonesia ke Suriah atau Irak, merupakan tindakan yang sangat tidak masuk akal. Hijrah seharusnya dilakukan untuk menujuk sebuah kebaikan. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Tidak terlihat unsur kebaikan sama sekali, setelah mereka melakukan hijrah. Mereka tidak hanya berani menebarkan kebencian, tapi sudah berani mengeksekusi orang yang tidak berdosa. Banyak kepala terpenggal di depan umum. Apakah ini merupakan hijrah yang diajarkan agama? Tentu tidak.
Hijrah merupakan perpindahan mental dan spiritual. Hijrah seharusnya tidak dimaknai perpindahan secara fisik. Tapi perpindahan mental, dari keburukan menujuk kebaikan. Pola pikir yang selama ini kental dengan nuansa kebencian, harus dirubah menjadi pola pikir yang mengedepankan kedamain. Karena Islam, bukanlah agama yang mengajarkan kekerasan. Islam justru mengajarkan cinta kasih kepada setiap manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H