Lihat ke Halaman Asli

Wiwik Agustina

Writer and Long Life Learner

Ekonomi Makin Sulit, Kesehatan Mental Kian Sakit?

Diperbarui: 18 Desember 2024   13:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Utang (Sumber: Freepik/ Drazen Zigic)

Tahun 2025 siap di depan mata dengan segala kebijakan ekonomi yang memberatkan masyarakat menengah ke bawah. Tantangan ekonomi yang semakin kompleks telah menjadi topik utama akhir-akhir ini, mulai dari daya beli turun, biaya hidup naik, kenaikan pajak, pengangguran meningkat, PHK di mana-mana, dan gagal bayar utang pinjol.

Semua ini memberikan tekanan besar bagi individu maupun keluarga. Namun, di balik angka-angka ekonomi yang sering kali menjadi sorotan, ada dampak lain yang tak kalah serius yaitu kesehatan mental masyarakat.

Hubungan Ekonomi dan Kesehatan Mental Penyebab Stres Berkepanjangan

Ketika situasi ekonomi memburuk, banyak individu terjebak dalam lingkaran gangguan kesehatan mental seperti cemas, stress, bahkan depresi. Pendapatan yang tidak meningkat, harga kebutuhan pokok yang terus melonjak, serta beban utang yang menumpuk menciptakan tekanan finansial yang berkelanjutan.

Menurut beberapa penelitian, individu yang mengalami kesulitan ekonomi cenderung memiliki risiko lebih tinggi terhadap gangguan kesehatan mental. Stres akibat masalah finansial bukan hanya berdampak pada perasaan cemas atau putus asa, tetapi juga dapat memicu perilaku negatif seperti gangguan tidur, pola makan tidak sehat, ketergantungan pada alkohol dan obat-obatan, bahkan mengakhiri hidup.

Maka ada hubungan antara kesehatan keuangan dengan mental. Salah satu variabel yang bisa kita lihat adalah tingginya pengangguran, entah karena lapangan kerja yang terbatas atau baru saja mengalami PHK.

Kehilangan pekerjaan bukan hanya berarti hilangnya sumber pendapatan, tetapi juga kehilangan identitas, harga diri, dan rutinitas harian. Rasa tidak berdaya dan malu yang dialami oleh individu yang kehilangan pekerjaan sering kali berujung pada perasaan tidak berharga.

Laporan dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran yang tinggi di suatu negara berbanding lurus dengan meningkatnya angka kasus depresi dan bunuh diri. Situasi ini menunjukkan betapa pentingnya pendekatan holistik dalam menangani krisis ekonomi, termasuk perhatian khusus terhadap kesehatan mental.

Baca juga: Tips Keuangan di Tengah Rencana Potongan Gaji Kelas Menengah

Biaya Kesehatan Mental yang Mahal

Sekalipun kesadaran masyarakat terhadap kesehatan mental mulai meningkat, nyatanya akses ke tenaga ahli hanya untuk kalangan tertentu. Ironisnya, di tengah tekanan ekonomi, akses terhadap layanan kesehatan mental kerap kali menjadi kendala.

Biaya untuk berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater masih tergolong mahal, termasuk Indonesia. Di sisi lain, stigma terkait masalah kesehatan mental membuat banyak orang enggan mencari bantuan, bahkan ketika mereka membutuhkannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline