Lihat ke Halaman Asli

Wiwik Agustina

Writer and Long Life Learner

Kompleksitas Kemiskinan Tidak Mudah Dipatahkan, Tapi Bukan Berarti Tak Bisa

Diperbarui: 2 September 2024   10:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemiskinan, selalu menjadi topik yang diperdebatkan. Sering menjadi komoditas politik untuk mendulang suara dengan janji menurunkan angka kemiskinan. 

Kali ini, tulisan ini membahas kompleksitas kemiskinan yang sulit diputuskan. Saya mempercayai bahwa kemiskinan bukanlah lingkaran setan. Namun, benang kusut yang perlu dicari ujung jalan keluarnya.

Kita Beda Garis Awal

Menjadi orang miskin kerap kali menjadi subjek untuk memperjual-belikan mimpi hidup kaya. Ya, kita sering mendengar berapa banyak mereka yang lahir dari keluarga kaya melabeli diri mereka dengan 'saya dulu miskin' untuk memberikan mimpi kepada mereka yang benar-benar miskin bahwa semua bisa menjadi kaya. Namun, realita tidak demikian.

Mereka yang lahir mikin sudah kalah di garis awal, suka atau tidak, garis awal antara anak yang lahir dari keluarga miskin dan anak yang lahir dari keluarga kaya sudah berbeda. Itulah kenapa mimpi semua bisa menjadi kaya, sangat tidak masuk akal karena seakan-akan dua subjek ini berada di garis start yang sejajar.

Tentu, dari keluarga seperti apa seorang anak dilahirkan tidak bisa ditentukan, oleh sebab itu kenapa saya mengkategorikan tulisan ini pada kategori parenting, karena hanya orangtualah yang bisa merubah status 'anak lahir dari keluarga miskin' atau 'anak lahir dari keluarga kaya'.

Kita pasti familiar dengan riset SMERU 2019, bahwa anak yang lahir dari keluarga miskin akan cenderung miskin ketika dewasa, kenapa? Ya, karena garis awal mereka tidak pernah sama. Ada banyak hal yang tidak dimiliki oleh keluarga miskin, bukan hanya sekedar kemudahan akses dan fasilitas, tapi literasi dan psikologi dalam memperlakukan dan mendidik anak.

Tren Gila Akhir-Akhir Ini

Jika algoritma tiktok ini sampai di gawai Anda, semoga Anda memahami kegelisahan penulisan artikel ini dari sudut pandang saya sebagai seorang perempuan. 

Ya, tren 'Hamil Duluan'. Ada sesat pikir di sini saat mereka yang menikah karena hamil duluan mulai merasa lebih bermartabat seakan memiliki hak untuk melabeli perempuan lainnya yang sudah menikah namun belum memiliki anak lebih rendah dibandingkan mereka yang memiliki anak sebelum menikah.

Tren konten ini membuat saya yang adalah perempuan, belum menikah, dan berusaha untuk memberikan kondisi yang ideal jika saya nanti menikah dan memiliki anak, menjadi gelisah dengan cara berfikir yang mulai melampaui akal sehat. 

Dalam hal ini, saya tidak membahas apakah menikah karena hamil duluan adalah salah atau benar, namun saya concern dengan apakah mereka sudah benar-benar siap menjadi orang tua yang mendidik dan memenuhi kebutuhan anak mereka dengan layak?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline