Lihat ke Halaman Asli

Wiwien Wintarto

TERVERIFIKASI

Penulis serba ada

Menanti Kebangkitan Kritik Film di Indonesia

Diperbarui: 14 Desember 2019   15:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kritikus film legendaris Roger Ebert (Foto: Taste of Cinema)

Salah satu profesi dalam dunia kepenulisan yang pernah saya masuki adalah menjadi kritikus film. Itu terjadi pada periode tahun 2006 hingga 2009 lalu. 

Kala itu, redaktur rubrik entertainment di edisi Minggu koran Suara Merdeka di Semarang, yaitu Budi Maryono, menugasi saya untuk menulis artikel tentang film Indonesia dengan format berupa ulasan kritis, bukan semata berita dan rangkuman data dan fakta seperti artikel-artikel saya lainnya di sana.

Saya pun kemudian sengaja nonton film untuk menuliskan resensinya. Beberapa film yang pernah saya ulas waktu itu adalah Sembilan Naga yang disutradarai Rudi Soedjarwo, Cewe Matrepolis (Effi Zen), Heart (Hanny R. Saputra), dan juga Denias: Senandung di Atas Awan (John De Rantau). Koleksi resensi-resensi tersebut bisa Anda inceng di sini.

Dengan segala kekurangannya, ulasan-ulasan itu memang hanya bisa menempatkan saya sebagai kritikus film amatir. Satu, kala itu saya menulis bukan sebagai anggota jajaran editor Suara Merdeka. Dan dua, saya tak punya background pendidikan soal sinematografi, apalagi pernah kerja di film dalam posisi kreatif.

Saya melakukan amatan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan saja soal film, bukan dengan basis berbagai teori sinema yang ndakik-ndakik (tinggi dan kompleks). 

Para sineas besar pasti tak akan menganggap penting tulisan-tulisan itu andai membacanya. Meski demikian, ketika itu saya berharap ulasan-ulasan tersebut mengawali satu gerakan kepenulisan yang saat itu nyaris mati di Indonesia, yaitu kritik film. 

Di bidang ini, kita punya Leila S. Chudori, yang sudah lama menulis ulasan film di majalah Tempo. Dan kala itu juga muncul laman kritik film Sinema Indonesia (amatir juga) yang menuliskan kritik-kritik terhadap film nasional dengan bahasa yang lucu dan kreatif.

Sayang harapan tinggal harapan. Tak terlihat kemunculan era baru penulisan kritik film sama sekali hingga saya pensiun tahun 2009. Situasi masih sama seperti sebelumnya, di mana urusan kritik film hanya sesekali disebut di penganugerahan Piala Citra, dan satu-satunya tokoh yang dihormati dan didengar di ranah ini masihlah hanya Bu Leila. 

Laman Sinema Indonesia pun kemudian berhenti berproduksi. Entah karena para kontributornya kemudian menikah dan kerja kantoran, atau mereka tak tahan berdebat dengan para sineas yang pernah mereka kritik.

Dan hingga hari ini pada akhir 2019, tak ada pergerakan baru apa-apa di bidang penulisan kritik film Tanah Air. Hanya ada tambahan beberapa movie addicts yang menuliskan ulasan kritis mereka di internet. Itu pun masih jauh dari istilah sebuah resensi. 

Kadang justru malah berupa testimoni. Padahal yang diperlukan adalah sebuah "jaringan" pengamatan, sehingga baik publik maupun sineas dan pemangku kepentingan komersial dunia perfilman bisa melihatnya dengan ukuran yang sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline