Lihat ke Halaman Asli

Wiwien Wintarto

TERVERIFIKASI

Penulis serba ada

"Duo Detektif", Mimpi 34 Tahun

Diperbarui: 6 September 2019   20:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok.istimewa

Panjang dan berliku. Itulah kisah yang terjadi di balik layar penerbitan buku terbaru saya yang ini. Dari segi konten dan tingkat kesulitan pembuatan, Sabotase Lokomotif B3502 jelas tak seserius novel-novel Eka Kurniawan atau Bre Redana, namun perjalanan dalam proses penerbitannya sangat menguras energi dan kesabaran, karena meliputi rentang waktu hingga satu dekade.

Ya, kisah penerbitan buku satu ini memang dimulai 10 tahun lalu, yaitu 2009. Ketika itu, saya di-approach Sidik Ilmawan, kawan saya yang merupakan produser dari sebuah PH bernama Rumah Pohon Indonesia (biasa disingkat Rumpon) untuk menulis versi novel dari film layar lebar berjudul Lokomotif B3502 yang tengah ia produksi. Film itu berjenis mirip Petualangan Sherina, yaitu tentang kecerdikan dan keberanian anak-anak dalam mengungkap kasus kejahatan.

Rumpon sendiri adalah sebuah PH yang saat itu tengah mencoba menggeliat untuk ikut berpartisipasi di jagad perfilman nasional. Pada saat bersiap memproduksi Lokomotif B3502, mereka tengah merilis Metamorfoblus, film dokumenter tentang perjalanan karier Slank. 

Saya sempat datang mengikuti premier dan diskusi film yang dibesut sutradara Dosy Omar tersebut di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, tanggal 23 Oktober 2009.

Lokomotif B3502 berkisah soal Jalu, Bima, Turi, dan Taufan yang merupakan penyandang disabilitas (tuna rungu dan wicara), dalam menghentikan upaya para penjahat yang mencoba melakukan sabotase terhadap rel kereta api di jalur wisata Ambarawa-Bedono di Jawa Tengah. Rangkaian kereta tersebut ditarik lokomotif kuno bermesin uap dengan nomor B3502.

Ketika itu, cerita dan skenario sudah ada. Tugas saya hanya mengolahnya menjadi novel sejenis Lima Sekawan-nya Enid Blyton, dan kemudian memasukkannya agar diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama (GPU). 

Novera Kresnawati, editor yang biasa menangani novel-novel saya di sana, mengungkap bahwa ketika itu pangsa pasar buku anak sedang tidak cerah. Meski begitu, GPU bersedia menerbitkannya asal saya membuat dua judul tambahan, sehingga ketika terbit, cerita petualangan Jalu dkk. sudah terlihat resmi sebagai sebuah serial dan bagus saat dipajang di toko buku.

Namun sebelum saya mulai mengerjakan buku kedua dan ketiga, rencana produksi filmnya mengalami berbagai macam kendala hingga akhirnya batal sama sekali. Naskah novelnya pun kemudian mangkrak di hard disk laptop (dan juga akun Google Drive) selama bertahun-tahun. 

Ia baru muncul lagi ke permukaan saat saya ketemu Novera bulan Desember 2016 untuk mendiskusikan penerbitan sekuel novel perdana saya di GPU, Say No to Love (2007), yaitu Say No to Me.

Ia menyatakan, GPU berminat menerbitkannya meski sudah tak terkait lagi dengan urusan film. Syaratnya masih sama, yaitu harus ada dua judul tambahan. Saya pun ngebut mengerjakan dua naskah berikutnya, yaitu Komplotan Pencuri Hewan Piaraan dan Perburuan Nagabiru.

Konsep cerita sekalian saya ubah, dari detektif cilik berkelompok ala Lima Sekawan dan Pasukan Mau Tahu menjadi duet superhero & sidekick, dengan Jalu menjadi semacam Sherlock Holmes dan Bima sebagai Dokter Watson-nya. Oleh Maria Felicia, editor yang menanganinya, mereka diberi nama Duo Detektif. Dan saya oke.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline