Sebagai cabang olahraga terpopuler, sepak bola menemukan pasangan terbaiknya dalam bentuk televisi. Melalui medium siaran langsung, keduanya sukses berjalan beriringan karena saling membutuhkan satu sama lain. Namun setelah berjalan sekitar setengah abad, hubungan mereka menemukan kerikil kecil yang membuat semua jadi rumit, yaitu apa yang dinamakan hak siar eksklusif.
Dalam deal bisnis jenis ini, satu kanal televisi (atau grup perusahaan media yang menaungi banyak kanal) memegang eksklusif hak siaran langsung satu kompetisi liga atau turnamen. Jadi kalau mau nonton, ya hanya lewat jaringan mereka. Sifat keeksklusifan membuat sang pebisnis memiliki titik penting yang mau tak mau audiens harus ikuti, yaitu jual-beli. Kalau mau nonton, ya harus beli, entah paket berlangganan bulanan atau yang bersistem pay-per-view (PPV).
Kita di Indonesia juga cukup lama nonton bola dengan sistem ini. Hanya saja, kelahiran jaringan TV satelit berbayar membuat semua jadi rumit. Ketika jaringan TV berbayar sukses menguasai hak siar satu kompetisi populer, kita jadinya harus keluar uang agar bisa nonton. Kudu daftar untuk berlangganan jaringan itu, yang berarti harus beli antena parabola, perangkat dekoder, dan membayar biaya pemasangan.
Semua ini berawal pada musim kompetisi liga 2007/08, ketika kompetisi Liga Primer Inggris yang kala itu sudah menggeser Liga Seri A Italia sebagai liga terpopuler dunia, hak siar penayangannya diambil oleh jaringan TV satelit asal Malaysia, Astro.
Sebelum itu, memang sudah ada hak siar eksklusif, namun pemegangnya adalah kanal-kanal TV terrestrial yang free-to-air, sehingga pemirsa tak bermasalah sedikitpun soal pergantian pemegang hak siar.
Kita masih ingat SCTV, ANTV, dan juga Indosiar pernah bergantian memegang hak siar eksklusif Liga Primer. Pada era 1990-an, kita bisa menyaksikan dua pertandingan per pekan. Satu pada Sabtu malam dan berikutnya pada Minggu malam. Kanal yang sama juga menayangkan kompetisi-kompetisi pendamping di Inggris, seperti Charity Shield (kini jadi Community Shield), FA Cup, dan juga League Cup.
Kemunculan Astro membalikkan semua tatanan, karena kita benar-benar harus keluar uang untuk nonton Liga Primer. Guna mulai berlangganan Astro, saya masih ingat kala itu saya harus bayar Rp 400 ribu untuk beli alat-alat sekaligus biaya pemasangan. Bonusnya berupa gratis langganan tiga bulan, sehingga pelanggan baru membayar ongkos langganan bulanan sebesar Rp 250 ribu mulai bulan keempat.
Karena saya sudah subscribe Astro sejak 2006, maka saya tak kesulitan sama sekali ketika kemudian siaran Liga Primer lenyap dari stasiun TV swasta nasional. Tinggal pindah input TV dari antena UHF ke parabola. Yang heboh adalah warga yang pada belum berlangganan Astro.
Tentu saja kala itu masyarakat menjerit dan menyatakan bahwa "Liga Inggris hanya diperuntukkan bagi orang-orang kaya (yang punya uang berlebih sehingga bisa berlangganan Astro!)". Saya tertawa perih karena saya ternyata pernah masuk kategori orang berduit!
Ketika tahun 2008 Astro Indonesia kolaps, hak siar Liga Inggris diteruskan oleh merek penerusnya, yaitu Aora TV. Kemudian dimulailah periode ketika urusan hak siar eksklusif membuat kenikmatan kita menyaksikan siaran bola menjadi begitu rumit dan bahkan painful.
Sebabnya adalah karena planet Bumi memiliki banyak sekali kompetisi bola populer yang harus diikuti. Jika hak siar masing-masing dipegang jaringan-jaringan TV berbayar berbeda, apakah di rumah kita harus centang perentang terpasang banyak sekali antena parabola agar bisa menonton semuanya!?