Lihat ke Halaman Asli

Wiwien Wintarto

TERVERIFIKASI

Penulis serba ada

Punahnya "Susuk" pada Era Cashless Society

Diperbarui: 5 Desember 2016   12:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Foto: finalwakeupcall)

Pada tahun 1999, jauh sebelum menjadi author dan ngeblog di Kompasiana, saya pernah bekerja sebagai operator wartel di Stasiun Poncol, Semarang. Tugas saya simpel saja, mengawasi pemakaian telepon (waktu itu ada dua KBU; kamar bicara umum) dan menerima pembayaran. Tarif bicara telepon Telkom untuk sambungan lokal (local call) kala itu adalah Rp 300 untuk tiga menit (kalau untuk interlokal alias SLJJ alias sambungan langsung jarak jauh, lupa).

Karena wartel buka 24 jam, para operator yang berjumlah tiga butir dibagi dalam tiga shift. Pagi antara pukul 7 hingga 16, sore antara pukul 16 hingga 23, dan malam antara pukul 23 hingga 7 keesokan harinya. Saya pernah merasakan tugas jaga di ketiga shift itu. Dan meski shift malam adalah yang terberat—karena harus melek-melek nonstop—puncak permasalahan bukan pada jatah shift malam hingga pagi, melainkan untuk urusan susuk atau uang kembalian.

Sungguh, tak ada yang lebih memusingkan ketimbang melihat angka Rp 600 di layar monitor dan menerima uang pecahan Rp 10 ribuan dari pelanggan. Sekalipun sudah berbekal kalkulator, tetap ribet memberi uang kembalian dalam posisi semacam itu. Terlebih apabila kemudian saya menjumpai bahwa stok recehan untuk susuk ternyata menipis, atau bahkan tak ada sama sekali.

Saya jelas panik, terlebih kalau pengunjung mengantre pada jam-jam sibuk kedatangan kereta api. Meminta teman untuk menukar uang besar dengan uang recehan ke pedagang atau toko di stasiun atau ke SPBU pun tetap perlu waktu. Berikutnya, sebelum memulai jadwal kerja, saya selalu mengantisipasi dengan menyediakan stok uang kembalian sebanyak mungkin. Itu pun biasanya tetap tak selamat hingga jam kerja berakhir. Di tengah jalan pasti susuk telah habis dan harus di-top up.

Ketika itu, saya mengimajinasikan, alangkah menyenangkan andai ada satu cara ketika kita tak perlu uang cash untuk bertransaksi, salah satunya di wartel. Ini penting karena ongkos bertelepon lewat wartel biasanya terjadi dalam nominal kecil, sedang pelanggan tak selalu punya tiga keping uang logam ratusan untuk membayar dengan uang pas.

Maka saya—yang hobi nonton film science fiction futuristik—mengkhayalkan betapa pelanggan bisa 'mendaftarkan' uangnya ke mesin kasir wartel dari simpanan tabungan yang ada di rekening masing-masing. Bertelepon sejumlah Rp 900, ya cukup nominal sejumlah itu yang dimasukkan ke mesin kasir dengan dipotong dari tabungan. Karena internet dan ponsel ketika itu belum ada (saya baru kenal e-mail akhir tahun itu, sesudah resign dari wartel, dan mempunyai ponsel dua tahun kemudian), bayangan terdekat adalah mesin ATM.

Jadi ada semacam ATM mini di mesin kasir, di mana pelanggan cukup mengonfirmasi pembayaran lewat situ. Dengan memencet tombol, jumlah biaya percakapannya akan dipotong langsung dari tabungannya untuk dipindah ke mesin kasir. Praktis. Tak ada uang kertas atau logam yang terlibat. Uang 'khayal' lah yang berpindah, tepat seperti nilai yang diperlukan, lengkap hingga ke angka sen di belakang koma jika perlu. Tak perlu repot mencari uang kembalian.

Kini kemajuan internet dan teknologi telepon pintar mendekatkan kita pada situasi semacam itu dalam arti kata sebenar-benarnya. Dan ada istilah ilmiah untuk itu, yaitu cashless society. Segala hal bisa dikendalikan dari smartphone atau laptop yang terkoneksi dengan internet. Dan kita bakalan tak perlu lagi bertemu dengan uang kertas atau uang logam recehan sepanjang hayat.

Khayalan futuristik saya tentang mesin-mesin ATM mini di dekat mesin kasir tak menjadi kenyataan, namun diganti oleh teknologi lain yang jauh lebih memudahkan. Berkat internet, transaksi-transaksi jual beli dan aneka macam pembayaran bisa dilakukan lewat dunia maya. Mudah dan praktis karena, selain tak perlu ke mana-mana, semua keperluan itu tak memerlukan keberadaan uang secara fisik alias uang tunai.

Bagi manusia-manusia berpaham SOHO (small office home office) yang bekerja tak perlu ngantor (dan punya bos menyebalkan) seperti saya, cashless society adalah sebuah harmoni. Dan bagi warga pemalas seperti saya, yang bekerja maunya cuman ngetik, Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang dicanangkan Bank Indonesia sejak 2014 adalah jawaban dari doa. Usai sudah ketika kita harus kesana-kesini mengurus atau membayar sesuatu. Segala hal bisa dikerjakan dari ponsel atau laptop sambil ndlosor.

Dan berkat keberadaan jasa transportasi daring seperti Gojek, berbelanja atau beli makanan dari luar pun bisa juga dilakukan dari ponsel (pembayarannya pun bisa dilakukan nontunai lewat fitur Go-Pay). Maka bisa saja selama seminggu atau dua minggu penuh, kita tak pernah keluar rumah. Baru keluar bila telah rindu sinar matahari dan debu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline