(Foto: noshon)
“Bagaimana rendangnya tadi?”
Sara tak langsung bisa menjawab. Sebagian karena lidahnya masih merasakan... yah, orgasme—sebut saja begitu. Sebagian lagi karena ia ikut sibuk menyingkirkan buku-buku dan majalah di meja agar Toni bisa menaruh dua gelas jus jeruk dingin dan dua piring puding cokelat yang amat menggiurkan. Pencuci mulut dari acara makan malam romantis barusan.
“Kalau bukan karena aku tadi melihat sendiri kamu memasaknya, pasti sudah kukira itu masakan langsung dari Nirwana. Diturunkan ke Bumi untuk menyiksaku... karena ingin lebih.”
Toni tertawa. Pria itu duduk, tepat di samping Sara.
“Terima kasih atas pujiannya.”
Dan seperti biasa, Sara langsung mendekat. Miring. Menjatuhkan sekujur tubuhnya ke tubuh Toni yang bidang. Memeluk seperti khawatir bisa saja ada iblis betina yang dalam sekejap mata membawa pria itu terbang entah ke mana—lepas darinya.
“Ayo, dinikmati pudingnya!” kata Toni kemudian, karena melihat Sara tetap bergeming dengan pelukannya. “Itu satu lagi yang aku mau kamu cicipi.”
Namun Sara tetap bergeming. Ia belum mau ke mana-mana, atau bahkan untuk bergeser seinci menjauh. Setidaknya untuk 60 atau 120 detik ke depan.
Ia malah sibuk mengamati keberadaannya saat ini. Detik ini.
Ya, harus dinikmati. Kesibukan mereka tak memberi celah leluasa bagi momen semacam ini. Berdua melewatkan waktu lapang sesudah makan malam di apartemen penthouse milik Toni di Menara Peninsula, kompleks superblok eksklusif Tower City di bilangan Pondok Pinang, adalah suatu kemewahan tersendiri. Layar TV raksasa tepat di seberang sofa tengah menayangkan Spotlight di HBO, tapi ia tak peduli. Yang terpenting adalah kebersamaannya bersama Toni saat ini.