Lihat ke Halaman Asli

Wiwien Wintarto

TERVERIFIKASI

Penulis serba ada

Menyoal Fiksi Diri Sendiri

Diperbarui: 27 April 2016   20:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Foto: omflit)

Saat mulai belajar menulis fiksi, kita akan cenderung memulai segalanya dari diri sendiri. Banyak unsur fiksi, terutama ide cerita, dimulai dari apa yang kita alami di dunia nyata. Sejak dari pengalaman hidup luar biasa ala Andrea Hirata atau A. Fuadi, hingga yang umum dan dialami banyak orang, seperti kasih tak sampai, cinta bertepuk sebelah tangan, atau LDR.

Tak hanya di sisi cerita, dalam unsur-unsur lain pun kita memunculkan segala sesuatu yang berasal dari diri kita, yaitu dalam karakterisasi, latar, tema, dan gaya. Dalam karakter, misalnya, kita menjadikan imaji diri kita sebagai sang tokoh utama. Baik yang berupa diri sesungguhnya dalam bentuk novel memoar semacam Negeri 5 Menara, maupun yang atribut-atribut personalnya mirip dengan kita.

Fenomena ini akan mudah kita jumpai dalam novel-novel sastra “bubblegum” abad ke-21 (teenlit, metropop, young adult, romance). Tokoh utama adalah pada dasarnya sang pengarang sendiri. Tak harus secara perawakan fisik, melainkan juga dalam watak tabiat, diksi perkataan, hingga latar belakang sosial ekonomi dan bidang kerja yang digeluti.

Bila sang pengarang berasal dari kelas menengah urban metropolitan, maka tokoh utama di novelnya adalah juga warga negara dengan ciri serupa. Bila sang penulis penggemar fashion dan sering bepergian ke mancanegara, maka karakter utama di novelnya pun seorang penggila fashion berskala internasional pula.

Tentu saja ini tidak salah. Adalah hak prerogratif pengarang untuk menampilkan tokoh yang seperti apa pun. Mengambil diri sendiri sebagai basis inspirasi tokoh adalah pilihan yang paling aman. Karena semua atribut dan fakta berdasarkan pengalaman pribadi, maka semua yang hadir melalui karakter itu pasti akan valid dan meyakinkan (at least sejauh pengarangnya bukan pengidap skizofrenia!)

Menjadi masalah ketika dalam sekian deret judul novel yang amat panjang, ia terus-menerus memunculkan tokoh yang demikian. Bahkan ada pula gejala yang cukup membuat dahi berkernyit. Dalam beberapa novel pop, tak hanya tokoh utama yang berkarakter mirip pengarang, melainkan semua tokoh tanpa kecuali.

Dan ini tak tanggung-tanggung. Kemiripan itu berada dalam semua lini. Sejak dari FOR/FOE (frame of reference/field of experience), bidang kehidupan, hingga watak tabiat dan bahkan diksi omongan.

Ketika sang pengarang adalah warga kelas atas ibu kota yang cas-cis-cus berbahasa Inggris, semua karakter juga sibuk bicara penuh dengan ungkapan, idiom, dan frasa-frasa Inggris. Dan itu merata, sejak dari kedua tokoh utama, teman-teman mereka, para tetangga, rekan di kuliah atau kantor, bahkan hingga ke kalangan generasi selapis di atas (para ortu dan om serta tante).

Satu dekade lalu, saat masih berkantor di Tabloid Tren Semarang memegang rubrik resensi buku, aku pernah mengulas novel semacam ini. Dan untuk fenomena everyone-speak-English itu, aku menulis, “...Seakan-akan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso baru saja mewajibkan seluruh warga Jakarta tanpa kecuali untuk ikut kelas conversation di lembaga-lembaga Bahasa Inggris!”.

Aku pun tentu tak terbebas dari gejala itu. Sebagian besar novel-novelku, terutama The Unfunniest Comedy (2011) dan Fade in Fade out (2013), menampilkan tokoh utama yang pada dasarnya adalah aku sendiri dengan segala atributku. Baru mulai The Supper Club (2014), novel-novel yang kutulis bisa sedikit terbebas dari elemen-elemen yang beraroma aku. Tak hanya di karakter-karakter, melainkan juga bidang kerja dan dan proksimitas (baik geografis maupun sosiologis).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline