Lihat ke Halaman Asli

Wiwien Wintarto

TERVERIFIKASI

Penulis serba ada

Manfaat Ilmu Silat pada Era Modern

Diperbarui: 1 September 2015   20:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(Foto: Penerbit Kompas)"][/caption]

Ada kegalauan yang baru aja terjawab begitu aku selesai membaca buku keren tulisan Bre Redana ini. Judulnya Body, Mind, Spirit: Aku Bersilat, Maka Aku Ada terbitan penerbit Kompas. Kegalauan yang muncul berkaitan dengan guna ilmu bela diri, khususnya pencak silat, dalam dinamika kehidupan modern sekarang ini.

Dulu, pada abad pertengahan, seni bela diri sangat penting karena zaman itu belum ada polisi, densus, brimob, dan lain-lain. Dalam keadaan terancam atau harus menyelesaikan suatu kasus kejahatan (balas dendam kaena ortu atau sensei dibantai), kita harus merampungkannya sendiri lewat jalan kekerasan.

Namun sekarang, pada masa modern ketika semua sistem budaya dan peradaban sudah tertata rapi, urgensi kepemilikan ilmu bela diri sudah jauh menurun. Keamanan telah relatif terjamin baik. Dan kalau ada apa-apa, kita tinggal lapor pada aparat yang memang berwenang dalam soal kekerasan, yaitu kepolisian. Buku karya Bre Redana menjawab tuntas pertanyaanku yang tadi.

Pada dasarnya, buku ini berkisah soal pengalaman si penulis menjadi murid perguruan silat Bangau Putih, terutama interaksinya dengan Gunawan Rahardja, Guru Besar generasi kedua Bangau Putih. Di tangan Guru—demikian ia biasa disebut—ilmu silat (ya, yang ada di Api di Bukit Menoreh atau Senopati Pamungkas itu!) direvolusi sedemikian rupa sehingga menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar gerakan menghancurkan lawan dan membela diri.

Penekanannya lebih kepada, itu tadi, body, mind, and spirit (disingkat BMS) dan penggunaannya untuk scope kehidupan yang lebih luas, yaitu hidup itu sendiri. Dan bukan semata-mata hanya demi seni bela diri atau olah raga.

Tubuh dipahami dan digunakan sesuai dengan hukum dan fungsi alamiahnya. Pikiran dikondisikan untuk melaksanakan inti ajaran pasrah yang lebih menghayati proses ketimbang terobsesi tujuan akhir. Dan spirit diartikan sebagai semangat, dalam bahasa Jawa disebut “niat ingsun” alias kekuatan kehendak yang mendasari seluruh aktivitas.

Dalam soal tubuh, kita diajari untuk menggunakan tiap organ dalam badan kita sesuai keperluan saja. Misal pas menyetir, ya yang gerak cukup kedua tangan dan kaki tok. Bagian tubuh lain harus dirilekskan. Saat berjalan, rasakan kedua kaki melangkah, sementara yang bukan kaki boleh istirahat. Istilahnya, biar badan ngaso terbawa maju kaki. Dengan cara begitu, kita bisa berjalan kaki jarak jauh tanpa merasa capek atau pegel-pegel.

Pikiran dikondisikan untuk lebih fokus pada proses, bukan tujuan. Misal pas nyetir menuju ke satu acara penting tiba-tiba terjebak macet parah, ya sudah, lupakan tujuan. Tak usah panik atau setres. Sudah kadung macet, mau bagaimana lagi? Rileks aja. Lakukan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi saat-saat macet sampai selesai.

Soal gimana ntar kalau ada apa-apa karena tak bisa hadir di acara, pasrahkan saja pada Yang Kuasa. Kan memang di luar kekuasaan kita. Mau kekejer pun percuma. Kadang kepasrahan total saat pikiran absen seperti itu justru menghadirkan outcome alias hasil yang tak terduga-duga. Misal pas akhirnya bisa sampai (tapi telat) di lokasi acara, dikasih tahu teman yang sudah lebih dulu datang, “Untung kamu nggak ikut. Makanannya nggak beres. Tuh, semua pada keracunan!”.

Maka saat menjalani laku hidup, jalankan apa pun secara alamiah saja. Jangan pikirkan tujuannya kelak akan ngapain, ke mana, sama siapa, di mana, bagaimana, kenapa (5W+1H). Dalam contoh latihan silat, saat menjatuhkan lawan dengan geseran kaki sederhana, geserkan saja kaki dari titik A ke titik B tanpa ternodai tujuan atau ambisi untuk harus bisa menjatuhkan lawan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline