Gara-gara IG live yang diadakan oleh Cak Kaji tentang "Dibayar Untuk Cari Kesalahan", seluk beluk kerja editor di balik layar, aku jadi mengingat-ingat ternyata aku punya beberapa teman yang bekerja sebagai editor. Berkawan dengan polisi bahasa ini selain kadang ribet juga membawa banyak berkah dan keberuntungan. Kalau mereka tahu saya menggunakan istilah "polisi bahasa" sepertinya aku bakal dicubit berkali-kali nih. Mereka kurang suka istilah tersebut, hehe...
Selain Mas Rudi yang menjadi narasumber IG Live Cak Kaji tanggal 25 Mei 2024 kemarin, masih ada beberapa teman lain yang juga para mantan editor. Sebut saja salah satunya bernama Ela. Ela kawanku seorang editor di penerbitan mayor di ibukota. Sebagai seorang editor yang salah satunya buku-buku anak, aku sering kecipratan buku-buku anak untuk aku review atau sekedar aku bacakan untuk para bocahku.
Aku yang saat itu sering menulis untuk media parenting online, jadi sering mendapat kiriman buku anak untuk aku tulis ulasannya di media tersebut. Tentu itu menjadi berkah luar biasa untuk buku-buku yang kadang harganya tidak murah.
Namun, jangan ditanya bawelnya dia ketika mendapati tulisanku keluar dari kaidah bahasa yang seharusnya. Salah menuliskan "di-" saja, apakah disambung atau dipisah, aku bisa dirundung berhari-hari. Tapi dari situ aku jadi waspada. Bahkan aku pernah dijerumuskan ke dalam kelas "self editing" untuk membuat kualitas penulisanku meningkat. Namun ya sepertinya tak banyak perubahan.
Kenapa begitu? Seperti yang dituturkan mas Rudi di IG Livenya bersama mbak Rahmah bahwa tugas editor bukan hanya sekedar memeriksa ketepatan ejaan, tata bahasa maupun struktur kalimat, namun juga harus mampu memilih kosakata dan menyuntingnya agar naskah bisa enak dibaca. Definisi "enak dibaca" ini tentu berkaitan erat dengan segmen pembaca. Naskah tentang teknologi tentu memiliki segmen pembaca yang berbeda dengan naskah sastra.
Itu berarti seorang editor bukan hanya sekedar menguasai ilmu tata bahasa. Lebih luas dari itu, seorang editor bisa saja menjadi penyunting yang setidaknya mengerti ilmu dasar dari buku yang disuntingnya. Seorang editor akuisisi juga merencanakan buku apa saja yang layak untuk diterbitkan dan berkomunikasi dengan penulisnya. Terlebih jika ilmu tersebut bersifat teknis seperti buku ilmu kedokteran dan sejenisnya yang kosakatanya bersifat teknis.
Para editor yang setiap hari kerjanya mencari kesalahan tentu pada akhirnya akan memiliki indra-indra yang terlatih, mata yang lebih awas dengan kesalahan penulisan, dan perasaan yang lebih peka ketika membaca kalimat yang janggal atau tidak nyaman di telinga. Maka tak heran, berkawan sama mereka naskah kita bisa saja langsung dikritik di tempat ketika tahu kita menulis hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban.
Jika kalian punya mimpi mengirimkan tulisan ke penerbit mayor atau lomba-lomba bergengsi, periksa lagi tulisan kalian. Kesalahan penulisan sekecil salah ketik usahakan tidak terjadi, karena sudah hampir dipastikan naskah akan langsung dihempas oleh para editor atau juri yang mantan editor. Percayalah mata mereka seolah bisa memindai kesalahan dalam waktu sekian detik. Ya mau gimana, mereka memang dibayar untuk mencari kesalahan.
Namun begitu, mereka adalah kawan-kawan yang baik yang bisa kita jadikan sparing partner, mentor dan guru untuk ilmu penulisan dan penyuntingan. Beruntung kawan-kawan editor saya tidak pernah pelit ilmu. Mereka dengan senang hati berbagi ilmu dan berdiskusi tentang ilmu yang mereka kuasai. Jadi, berkawan dengan para editor ini ribetkah? Ah kadang-kadang...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H