Lihat ke Halaman Asli

Witri Nailil Marom

(Ruang khusus fiksi)

Bendungan Bukit Besar

Diperbarui: 11 November 2024   23:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Dengar, ada bunyi stridulasi paling nyaring dari arah sana." Mono menunjuk gerombolan rumput teki. Berjalan ke arahnya dan menyibak-nyibak rumput teki itu tanpa aba-aba.

"Wah mentang-mentang tadi baru dapat pelajaran sriduluansi langsung dipraktekan. Hebat betul kau, No." Tris menepuk-nepuk pundak Mono dengan senyumnya yang menggelikan.

"Apalah kau Tris. Bukan sriduluansi. Begitu saja kau tak bisa ngejanya." Diksa menimpali.

"Lalu apa bacanya kalau begitu, Dik?"
Diksa menggaruk-garuk kepala. Reflek melompat. Cepat meraih jangkrik yang lepas dari tangan Mono. "Ah, kau sih Tris banyak bicara, lepas kan jangkringnya."

"Pandai mengalihkan isu saja kau, Dik. Kayak pejabat tinggi." Balas Tris tak terima disalahkan.

"Husss, tak elok menggibah orang atas. Nanti kalau kita kena karma jadi pejabat juga bagaimana?" Kata Fika, satu-satunya perempuan di antara mereka, yang sedari tadi mengamati pergerakan mencurigakan di antara rumput mutiara dan krokot sawah. Tak ada yang menjawab lagi. Semua terdiam. Menyisakan cengkerik jangkrik bersautan. Mereka menatap satu sama lain, dan kemudian tertawa.

____

Kenangan itu, dibawa kembali oleh hembusan angin. Menggetarkan hatinya. Mono, Tris, dan Diksa. Dua puluh lima tahun berlalu. Fika berdiri di tepian pembatas jembatan, menatap cahaya keemasan di ufuk timur. Memejamkan mata, dan membiarkan keringat lari paginya mengering.

'Aku menang No, Tris, Dik!' Gumamnya pelan pada diri sendiri.

Di hadapannya, terhampar air bendungan tak beriak. Memperlihatkan percikan ikan-ikan kecil yang melompat-lompat. Di sisi pinggirnya, tumbuh berderet seroja ungu yang mekar memesona dan burung-burung kecil berjalan di atas daunnya. Ia menyadari, bahwa semakin dewasa semakin ia menyukai bebungaan. Dan bersamaan dengan itu perasaannya menjadi lebih sensitif dan melankolis.

Dulu, ia senang sekali saat menggali tanah, menjungkir balikkan batu mencari cacing tanah dan memegangnya dengan tangan kosong, untuk kemudian menjadikannya umpan memancing. Atau mencari ulat dalam gulungan daun pisang dan menangkap monggo (laba-laba) dari sarangnya yang terangkai di antara ranting-ranting bambu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline