Siang itu, di pinggiran pematang sawah. Di bawah pohon randu besar. Berdampingan dengan pohon sirsak yang tak seberapa tinggi. Aku dan Ibu duduk di atas hamparan karpet rumput belulang. Sembari menikmati ubi rebus hangat.
Ptaaakkk. Dua buah randu rekah terjatuh mengenai pucuk kepalaku. Aku mengaduh kaget. Ku raih seonggok buahnya. Membedah isi di dalamnya penasaran. Ku tarik sebentuk gumpalan seperti kapas. Aku mendongakkan kepala ke atas, membenarkan kaca mataku betul-betul mencari tau apa benar ini buah dari pohon randu itu?
Ibu tertawa pelan. "Baru pertama kali lihat buah randu ya, Nduk?"
"Iya, Bu. Indah betul isinya. Seperti ada gumpalan-gumpalan kapas."
"Waktu pertama kali kamu ke sini belum musim. Sekarang lihatlah, banyak berterbangan kapuknya. Kamu tau kasur di rumah kita isinya apa?"
Aku menggeleng pelan. "Ya kapuk dari buah randu itu. Orang-orang desa suka kasur kapuk. Selain mudah didapat, .. " Nada bicara Ibu pada kalimat terakhir itu memelan. Seperti memberi sebuah informasi penting. " harganya juga murah." Aku tertawa.
Kami pandangi daun-daun padi yang makmum kemana angin berembus, bagai tarian ombak yang berirama. Hanya ada hijau sejauh mata memandang.
"Aku lihat Ibu bahagia sekali kalau di sawah . Apa Ibu begitu menyukainya (?)" kataku setelah beberapa saat hening. Aku begitu penasaran. Meski Ibu memang sosok perempuan yang pembawaannya selalu bahagia, namun ketika di sawah seperti ada bahagia lain yang tak dapat dijelaskan di mata Ibu.
Ku pandangi Ibu. Caping yang dikenakannya seakan menyombongkan diri karena telah begitu lama menemani Ibu melawan terik dan hujan.
Ada kerut tipis di sudut mata dan bibir Ibu, selain menandakan usianya yang tak lagi muda, itu juga karena Ibu murah sekali tersenyum.
Ditariknya napas panjang dan melirik ke arahku sebentar. "Kamu suka sawah, Nduk?" Balasnya bertanya balik.