Lihat ke Halaman Asli

Biso Rumongso

Orang Biyasa

PSK Galau di Bulan Penuh Rahmat (15)

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ringkasan sebelumnya: Ramon menikmati perjalanan ke Jakarta bersama Arni. Ia ingin cepat terbang ke Papua, via Bandara Soekarno-Hatta, untuk menghindari Jaka yang hendak membunuhnya. Selengkapnya…

Mobil yang ditumpangi Ramon masuk jalan tol Cikampek. Masih sepi. Mereka mampir ke rest area pertama untuk melakukan makan sahur sekaligus shalat subuh.

Setelah itu mereka melakukan perjalanan lagi dengan kecepatan yang sama. Sampai di wilayah Bekasi, lalu lintas sudah padat. Perjalanan pun tersendat.

Saat itu, berduyun-duyun kendaraan menuju Jakarta. Arah sebaliknya sepi.

Ah Jakarta, pikir Ramon, makin hari bukannya kian nyaman. Beberapa kali ganti gubernur, ganti presiden, tak pernah ada penyelesaian soal lalu lintasnya. Sudah tahu panjang jalan segitu-gitu saja, jumlah kendaraan tak dibatasi, angkutan umumnya tak diperbaiki.

Akibatnya, pembangunan jalan tol yang semula dimaksudkan untuk melancarkan arus lalu lintas, hasilnya sami mawon. Pada jam sibuk, terutama pagi dan sore hari, hampir semua jalan tol macet-cet. Malah kadang-kadang kemacetan di jalan tol lebih parah dibanding jalan non tol.

Padahal masuk jalan tol tak murah tarifnya. Pengelola cuek saja memunguti uang ongkos tol, tak peduli dengan situasi yang terjadi. Macet tak macet ongkosnya sama saja.

Ah, mestinya ibukota dipindah saja. Jakarta sudah tak cocok lagi menyandang itu. Tapi tampaknya tak pernah ada rencana serius ke arah itu, seperti halnya tak pernah ada langkah serius untuk mengatasi kemacetan lalu lintas yang kini menjebak Ramon dan Arni.

“Mas…” Suara itu membuyarkan lamunan Ramon. Suara yang terdengar aneh, karena baru kali ini Arni memanggil Mas, bukan Mon seperti biasanya.

“Iya din. Dindaku sayang…” Ramon menjawab dengan panggilan tak biasanya pula.

“Jakarta mestinya dipindah saja kali ya?”

Halah, cara berpikirnya kok sama sih? Tapi Ramon senang mendengarnya.

“Dipindah kemana kira-kira ya din”

“Dipindah jauh, biar nggak macet kayak gini. Biar keramaian juga merata. Nggak hanya di Jawa”

“Oh, maksudnya digeser ke luar Pulau Jawa?”

Arni mengangguk. “Tapi jangan ke Papua?”

“Loh, kenapa?”

“Kita kan bersembunyi di sana”

“Oh iya, ya. Kamu pinter banget, dindaku sayang.” Ramon mencubit pipi Arni, gemes.

Ramon kemudian mengajak ngobrol Bruno. Ia bertanya apakah sopirnya itu pernah membawa mobil di Jakarta. Bruno bilang pernah. Ia pernah bekerja menjadi sopir seorang pengusaha.

“Pengusaha apa Brun?”

“Pengusaha panti, mas”

“Panti asuhan? Emang ada”

“Bukan, mas”

“Lalu apa?”

“Panti pijat, mas”

“Halah, yang bener”

“Masa bohong, kan bulan puasa”

“Oh iya, ya…”

“Kamu pernah nyobain, Brun,” Arni nimbrung, menggodanya.

Nyobain apa, mbak?”

“Ya dipijatlah. Dipijat dipanti pijat punya bosmu?”

“Ah, ya nggaklah, mbak”

“Nggak cuma sekali ya?”

Hahaha..Burno tak kuasa menahan tawa.

“Bisa aja si mbak ini,” katanya.

“Emang panti pijat apaan sih?” Ramon menimpali.

“Panti pijat tradisional.”

“Apanya yang tradisional.”

“Nggak tahu”

“Tukang pijatnya?”

“Nggak tahu”

“Gaya pijatannya”

“Nggak tahu”

“Atau otot yang dipijatnya.”

“Ya, ya, ya Mungkin itu…”

“Kamu pasti pikirannya mesum ya.”

“Yang bener sih ya memang itu.”

“Apaan sih”

“Ya itu tadi. Panti pijat mesum”

Ramon dan Arni saling berpandangan. Mereka seolah memperoleh pengakuan dari seorang anak kecil yang baru mau mengatakan sesuatu yang berusaha disembunyikannya.

Sempat Ramon menanyakan apakah Bruno hafal jalan lain ke Bandara Soekarno-Hatta selain melalui jalan tol. Misalnya, melalui Jalan Tol Lingkar luar, kemudian keluar Serpong, dan masuk tol lagi.

Bruno menggeleng kepala. Saat jadi sopir pengusaha panti pijat tadi, katanya, jalan tol lingkar luar atau dikenal dengan Jakarta Outer Ring Road (JORR) belum jadi.

***

Ramon dan Arni kehabisan obrolan ketika mobil yang dikendarainya hampir sampai Bandara. Sebuah SMSkemudian masuk. Ramon buru-buru membukanya karena SMS itu dari Jamila.

“Hati-hati, orang-orang Jaka sudah ada yang di bandara Soekarno-Hatta.”

Jantung Ramon langsung berdegub. Ternyata usaha pelariannya benar-benar belum aman.

Arni menanyakan apa isi SMS itu. Ramon pun berterus terang bahwa orang-orang Jaka ada di Bandara.

Ramon segera memerintahkan Bruno untuk memperlambat laju mobilnya. Ramon segera menutup kaca jendela, mengenakan topi dan kaca mata, agar wajahnya tak dikenali dari luar. Arni ia perintahkan merunduk.

Karena terlalu perlahan, laju mobil yang dikendarai Bruno sempat diklakson mobil di belakangnya karena dianggap menganggu. Atas perintah Ramon, Bruno menambah kecepatan mobilnya. Baru setelah tiba di depan lobi bandara laju mobil kembali diperlambat.

Tiba di depan lobi terminal keberangkatan bandara, semua penumpang turun dari mobil yang mengantarnya. Sebaliknya, Ramon memerintahkan Bruno untuk jalan terus.

“Brun, Cabut, cabut. Jalan terus. Kita tinggalkan bandara,” perintahnya.

Meski tak tahu dengan situasi yang dihadapinya Bruno menuruti perintah Ramon.

“Emang ada apa sih, Mas.”

“Aku tadi melihat orangnya Jaka. Kita tidak aman jika nekat turun di Bandara sekarang!”

“Terus gimana dong

“Kita kabur dulu, jauhi mereka.”

“Jalan teruuusss Brun!,” perintah Ramon lagi. Badannya berbalik mengawasi deretan mobil di belakangnya. Ia khawatir orang-orang Jaka tahu, dia tak jadi turun di bandara dan kini mengejarnya. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline