Lihat ke Halaman Asli

Biso Rumongso

Orang Biyasa

PSK Galau di Bulan Penuh Rahmat (16)

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ringkasan sebelumnya: Perjalanan terlama Ramon menuju Bandara Soekarno-Hatta justru saat melintasi Jakarta yang super macet. Namun begitu sampai bandara mereka langsung harus balik kanan karena orang suruhan Jaka sudah ada di sana.Selengkapnya…

Marzuki menelepon Gofar saat sebuah mobil yang diawasinya dari tadi tak jadi menurunkan penumpang di lobi terminal keberangkatan Bandara Soekarno-Hatta. Ia menduga di dalam mobil itu adalah Ramon, buruannya.

“Kamu yakin mobil itu ditumpangi Ramon si kurang ajar itu.” Gofar minta ketegasan Marzuki, anak buahnya.

“Yakin 100 persen, bos. Dari semua mobil yang kita awasi, baru mobil itu yang tak menurunkan penumpang. Saya yakin sekali karena nomor mobilnya, AE. Nomor mobil Madiun, Jawa Timur.”

“Kalau begitu kejaaar!!. Kerahkan semua. Eh, tinggalin satu orang dibandara. Siapa tahu balik lagi.” Gofar memerintahkan Marzuki yang ditemani tiga kawannya untuk mengejar mobil yang diduga berisi Ramon.

Mobil yang akan ditumpangi Marzuki sudah nongkrong di depan lobi bandara sejak tadi. Strategi itu dilakukan agar gampang mengejar buruan.

Padahal tak jauh dari mobil itu ada rambu larangan parkir. Namun entah bagaimana caranya, Marzuki dan kawan-kawan bisa dengan bebas melanggar aturan itu.

Bisa saja mereka mengaku sebagai anggota polisi yang tengah menyamar. Potongan mereka yang berambut cepak dan bertubuh tegap cukup meyakinkan para sekuriti bandara.

Jika tak percaya juga, maka jurus pamungkas pun akan mereka keluarkan. Apalagi kalau bukan fulus. Siapa sih yang tak doyan uang? Geng Jaka tak segan-segan mengeluarkan uang dalam jumlah berapa pun asal tujuan mereka tercapai.

“Aturan kan dibuat untuk dilanggar.” Demikian Gofar pernah bilang pada Marzuki. Gofar mengutip apa yang pernah didengar dari bosnya, Jaka. Lalu Jaka mengutip siapa? Mungkin Jaka akan bilang mengutip para pendekar hukum, entah siapa

Maka Honda CRV yang ditumpangi Marzuki dan kawan-kawan melesat memburu Toyota Kijang kapsul tahun 2000-an yang ditumpangi Ramon dan kawan-kawan.

Dengan kecepatan lebih baik, dari kejauhan, Marzuki dan kawan-kawan melihat mobil yang diburunya. Mobil itu ternyata mengambil jalur menuju Ancol.

“Loh, kok belok ke Ancol, emang mau kemana mereka ya?” Kawan Marzuki yang mengemudikan mobil membayangkan Ancol identik dengan taman impian, dunia fantasi atau biasa disebut dufan.

“Udah ikuti saja. Kemanapun mereka kabur, tugas kita adalah menangkapnya hidup-hidup!”

“Siap, bos!!!”

***

Ramon panik. Matanya terus mengawasi mobil-mobil yang melaju di belakang kendaraan yang ditumpanginya.

Ia tak tahu kendaraan jenis apa yang kini tengah mengejarnya. Yang pasti, ia yakin mobil itu lebih bagus dari mobil Bruno.

Ramon hanya mengandalkan firasat bahwa salah satu mobil di belakangnya, cepat atau lambat, pasti menyusul. Jika itu terjadi, habislah riwayatnya. Tak ada lagi mimpi indah bersama Arni.

Ramon merasa pelariannya saat itu merupakan pelarian terakhir. Ia membayangkan ruang geraknya sudah habis.

Ia membayangkan, kalau saja ia nekat turun di bandara, pasti dengan mudah akan ditangkap orang-orangnya Ramon. Apalagi ia belum memegang tiket pesawat, masih belum tahu jam penerbangan ke Papua, masih tanya ini-itu, pokoknya masih menunggu.

Posisi seperti itu sangat tidak menguntungkan bagi dirinya sebagai orang buruan.

Biasanya, jika hendak berpergian menggunakan pesawat, ada staf yang mengurusnya. Namun Ramon tak mungkin mengontak staf tersebut karena yang bersangkutan lebih berpihak pada Jaka yang menggajinya.

Sekali lagi, Ramon merasa tak punya pilihan. Ia harus menghadapi apa yang tak pernah dibayangkan dalam hidupnya; diburu bak seorang buronan paling membahayakan.

Bruno ikut panik. Namun tingkatanya masih jauh di bawah Ramon. Ia hanya kena dampak dari situasi yang dihadapi penumpangnya.

Paling panik adalah Arni. Wanita itu seperti sedang berada dalam sebuah film laga yang pernah ditontonnya, tapi film apa, ia tak ingat?

Selama menjadi PSK di Jakarta, Arni tak pernah sempat menonton bioskop 21. Soalnya, saat film itu diputar, ia harus siap-siap bekerja melayani tamunya.

Paling banter, Arni hanya menonton film-film laga VCD bajakan. Itupun tak pernah ditonton sampai habis, karena pasti ketiduran hingga VCD yang diputarnya tak ada gambarnya lagi alias habis.

Saat berpacaran dengan Jarpul ia pernah diajak nonton film laga di layar tancap sebuah acara hajatan. Kala itu film laga yang ditontonnya adalah film mandarin.

Arni tak pernah tahu judulnya. Yang ia ingat, film laga itu banyak adegan kejar-kejaran mobil seperti yang kini tengah dialaminya.

Di tengah kepanikan, tiba-tiba ia ingat seseorang. Ia pun mengeluarkan handphonennya dan menelepon orang tersebut.

“Mas Jarot, ini mas Jarot bukan.Ini Yati. Marniyati,”

“Ada apa Yat?” Raut wajah Arni seketika berubah gembira mendengar jawaban itu.

“Mmaas, maassss Jarot, sekarang dimanaaa?”

“Loh memang ada apa to Yat. Mas kan sudah bilang pulangnya nanti, kalau udah deket lebaran.” Jarot menangkap kepanikan dalam kalimat Yati.

“Yati tahu mas. Mas Jarot dimana? Yati sekarang sedang di jalan tol, sedang dikejar penjahat?”

Jalan tol, dikejar penjahat? Jarot tampaknya belum nyambung dengan apa yang disampaikan adiknya. Di pikirannya, Yati sekarang sedang berada di kampung halaman.

Ia telah membekali uang cukup banyak pada pertemuan tak terduga sebelumnya. Karena itu ia juga melarang adiknya kembali ke Jakarta. Paling tidak sampai ia pulang kampung.

Jadi mana mungkin sekarang adiknya sudah di Jakarta? Apakah Yati tak mau menuruti larangan dia sebagai kakak kandungnya? Apa yang kau cari Yati?

Namun setelah Yati menjelaskan alasan mengapa ia berada di Jakarta, Jarot akhirnya bisa mengerti. Ia pun langsung memerintahkan agar sang adik meluncur ke Marina Ancol.

Jarot akan memerintahkan anak buahnya menjemput Yati dan Ramon menggunakan motor boat.

Jarot bilang, kapal pesiar tempatnya bekerja masih bersandar di kawasan Kepulauan Seribu. Hari itu merupakan hari terakhir. Jadi kebetulan Yati mengontaknya.

Ada secuil kelegaan di hati Yati, juga Ramon, bahwa mereka ternyata masih diberi alternatif untuk selamat dari kejaran Jaka dan kawan-kawannya.

Tapi bagaimana mereka bisa selamat sampai Marina Ancol sedang orang-orang Jaka sekarang membuntutinya? (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline