Lihat ke Halaman Asli

Biso Rumongso

Orang Biyasa

PSK Galau di Bulan Penuh Rahmat (4)

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ringkasan sebelumnya: Meski masih sah sebagai suaminya, Arni menganggap Jarpul tidak ada. Sebaliknya Ramon selalu ada di hatinya. Arni bahkan bermimpi menikah dan hidup bahagia dengan Ramon, meski salah satu anak mereka ikut berpenampilan banci seperti bapaknya. Selengkapnya...

Sejumlah PSK menolak penutupan lokalisasi selama bulan Ramadhan. Namun penolakan yang terjadi di Blitar, Jawa Timur itu disinyalir telah ditunggangi para pengusaha minuman keras, penyokong utama bisnis prostitusi di sana.

Berita penolakan penutupan lokalisasi itu terjadi tahun 2011 lalu. Arni secara tak sengaja memperoleh koran yang memuatnya di bawah kasur saat ia menengok sisa uang pemberian Ramon.

Arni tak hafal siapa yang menaruh koran bekas itu di bawah kasur. Kamar tersebut telah beberapa kali ganti penghuni. Juga mungkin beberapa kali kedatangan tamu dari si penghuni kamar.

Adapun ia tertarik membacanya karena berita itu terkait profesi tentang dirinya. Tentang nasib PSK yang merana selama Ramadhan. Tentang siklus PSK yang pasti datang setiap tahun namun tetap saja terasa berat menghadapinya,

Semua PSK pasti menolak kebijakan penutupan tempatnya bekerja. PSK seharusnya juga tahu posisi. Mereka harus sadar sedang berada dimana.Ngotot beroperasi selama bulan Ramadhan, sama saja dengan bunuh diri.

Toh dalam praktiknya, selalu ada celah yang bisa dimainkan. Selalu ada kesempatan bagi PSK untuk memperoleh pelanggan, walau mungkin jumlahnya memang berkurang.

Yang jelas, selama masih banyak pria hidung belang berkeliaran, profesi penjaja cinta takkan pernah hilang. Tak aka ada yang bisa mencegahnya.

***

Dan itulah yang sedang dipikirkan Arni. Barusan Icha meneleponnya bahwamereka akan memperoleh job alias melayani para tamu di sebuah kapal pesiar yang bersandar di Kepulauan Seribu.

Icha tak bilang di pulau apa, tapi andaipun bilang Arni tak kan tahu dimana posisi pulau itu. Para PSK memang tak perlu tahu, yang mereka butuhkan adalah kesiapan fisik untuk pekerjaan yang langka tersebut.

Arni pernah mendengar ada beberapa kawannya memperoleh job ke kawasan Pulau Seribu. Konon bayarannya cukup tinggi karena para tamu yang menggunakan jasa mereka berasal dari kalangan menengah ke atas.

Biasanya para tamu kapal pesiar selektif. Mereka tak mau PSK jalanan. Masalahnya, karena saat itu bulan puasa, mengumpulkan PSK dalam jumlah cukup banyak tidak mudah. Sebagian dari mereka sedang pulang kampong.

Maka para makelar cinta alias germo dan mucikari pun berspekulasi dengan membawa PSK yang tersedia. “Ini pekerjaan langka. Nanti malam kita akan berangkat.” Icha berkata seolah Arni akan langsung menerima.

Arni ternyata tak tertarik. Ia merasa sudah insyaf. Ia merasa sedang diawasi Ramon, diawasi Alloh subhana Wata Alla. Arni bilang pada Icha agar diganti wanita lain saja.

“Sori…sori banget Cha. Kali ini aku dilewati saja. Perasaanku nggak enak.”

“Kamu ini aneh Ni. Aneh karena hanya kamu yang menolak rezeki. Jangan terlalu melankolis gitu lah. Ramonmu kan tak ketahuan nasibnya. Ia juga tak tahu apa yang kamu lakukan saat ini.”

Arni tetap pada pendiriannya. Ia seperti sudah siap menerima cap apapun dengan sikap penolakannya.

“Begini saja Ni. Aku tak akan bilang kamu menolak pekerjaan ini pada mami. Aku akan tetap menunggumu di dermaga Ancol sampai jam keberangkatan, pukul 19.00.”

Arni akhirnya bilang iya sebelum menutup telepon. Hanya saja kata iya yang dimaksud artinya bersayap. Iya bisa berarti setuju dengan apa yang disampaikan Icha, atau iya yang berarti tetap pada pendiriannya: menolak ajakan ke Kepulauan Seribu.

Jawaban itu kemudian menuntun Arni untuk menengok siswa uang pemberian Ramon yang ia simpan di antara selipan koran di bawah kasur. Jumlahnya tinggal Rp 500.000.

Jumlah tersebut tentu saja sangat kecil untuk dibawa pulang mudik saat Lebaran. Belum lagi uang itu akan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Padahal Ramon belum tahu kapan kembali sementara ia tak tahu nomor PIN dua kartu ATM milik Ramon yang dibawanya.

Sementara jika ia menerima job ke Kepulauan Seribu, paling tidak ia akan menerima tambahan uang Rp 1 juta, mungkin lebih jika kebetulan mendapatkan tamu yang royal.

Pada hari keberangkatan, Icha tampak senang karena Arni akhirnya muncul. Bersama sekitar 50-an PSK mereka naik sebuah kapal yang akan mengantar menembus angin malam menuju sebuah pulau, tempat bersandar kapal pesiar mewah.

***

Setelah melakukan perjalanan lebih dari satu jam, Arni dan Icha sampai di pulau tujuan. Dari jauh, pemandangan kapal pesiar yang bersandar di pulau itu sudah tampak.

Cahaya lampu terang dari kapal pesiar itu membuat para PSK itu seperti sedang menuju ke sebuah bangunan hotel berbintang. Bedanya pemandangan sunyi dan desiran air laut, membuat suasana terasa lebih mistis dan romantis.

Saat mendekat dengan pulau, suasana riuh penghuni kapal mulai terdengar. Hampir semua PSK memandang takjub kemegahan kapal begitu mereka merapat di dermaga pulau. Mereka seperti hendak memasuki sebuah surga dunia. Dan para penghuni kapal menganggapnya para PSK itu merupakan bagian surga dunia.

Sebelum naik kapal nan megah itu para PSK dikumpulkan untuk diberi nomor urut tes kesehatan oleh seorang dokter kapal berkebangsaan asing.

Informasi awal sudah disampaikan kepada para PSK bahwa tak semua dari mereka akan lolos seleksi kesehatan, bahkan seleksi wajah dan penampilan, sebelum tes kesehatan. Tapi jangan khawatir, para PSK tetap akan memperoleh uang kehadiran sebesar Rp 500.000. Singkat kata tak akan ada yang dirugikan dalam bisnis itu.

Arni memperoleh nomor urut 13, sedang Icha 12. Sempat terpikir oleh Arni bahwa angka itu merupakan angka sial. Tapi bukankah profesi PSK merupakan profesi sial? Profesi terpaksa karena tak punya pilihan?

Icha tampak lolos menjalani tes wajah dan penampilan. Ia segera masuk ke ruang tes kesehatan. Giliran Arni yang masuk ruang tes kesehatan. Seorang pria tampak menelepon dan memungunginya. Arni berdiri menunggu.

Begitu pria itu berbalik badan, Arni terkejut bukan kepalang. Begitu pula sang pria. “Mas Jarot!,” teriaknya tanpa suara.

“Yati, ini Yati adikku ya.” Jarot juga berteriak dan segera menghambur guna memeluk PSK yang ternyata adik kandungnya itu.

Namun pelukan itu hanya sebentar. Keduanya tersadar bahwa mereka telah berada di tempat yang salah. Pertemuan itu pun jadi terasa aneh.

Takut ada yang mengetahui, Jarot segera menutup pintu dan menguncinya. Mereka kemudian berbicara sebagai kakak dan adik.

“Mas Jarod kok ora tau mulih sih. Bapak-ibu kangen.”

“Iyo mas durung sempet. Lagi pisan iki kapal pesiar mas mampir nang Jakarta,”

Singkat kata, Jarod berjanji pulang mudik pada Lebaran ini. Arni sendiri tak jadi melayani tamunya karena dilarang sang kakak. Saat yang lain melayani tamunya, Arni berada di kamar sang kakak. Mereka melepas kangen sebagai kakak-adik yang sudah 10 tahun lebih tak bertemu.

Arni menceritakan mengapa ia terdampar menjadi PSK dimana bapak-ibunya di rumah menganggap ia kerja di rumah makan. Sebaliknya Jarod juga menjelaskan panjang lebar mengapa ia tak pulang menengok bapak ibunya.

Keduanya merasa bersalah terhadap orangtua mereka. Karena itu mereka tak berani saling menyalahkan. Yang pasti, setelah dari kapal pesiar itu. Jarot menyuruh Arni pulang kampung. Tentu saja dengan menitipkan bekal uang cukup banyak.

Arni bersyukur akhirnya masih terhindar dari perbuatan nista, melayani tamu di bulan puasa. Ia merasa doa Ramon kini selalu menyertainya. (bersambung)

Kisah-kisah lain ada di sini.



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline