Lihat ke Halaman Asli

Biso Rumongso

Orang Biyasa

Ini Dia Penyebab Anak Mogok Sekolah

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kepribadian anak terpengaruh teman pergaulan, bukan sekedar hipotesa. Paling tidak pengalaman anak saya telah membuktikannya.

Hampir setahun anak bungsu saya (perempuan) bergaul dengan teman sepantaran (laki-laki) yang belum sekolah. Anak tersebut belum disekolahkan, dengan alasan umurnya belum cukup.

Sebaliknya anak saya sudah minta sekolah sejak umur 3,5 tahun. Kami sendiri tak memaksanya. Ia terpengaruh kakaknya dan beberapa tetangga yang sudah sekolah.

Si bungsu kemudian memilih sekolah sendiri. Ia begitu percaya diri untuk setiap hari datang ke sekolah, meski belum resmi terdaftar. Seperti bocah kecil pada umumnya, ia datang ke sekolah awalnya untuk sekadar menikmati taman bermain yang ada di sana.

Karena usianya belum cukup si bungsu memulai dari playgroup. Ia sangat antusias bersekolah, nyaris tak pernah ditungguin mbak atau mamanya. Hal itu beda sekali dengan kakaknya (lelaki) yang masih harus ditungguin hingga sekolah dasar.

Lalu, setahun kemudian, tetangga baru yang memiliki bocah sepantaran dengan si  bungsu tinggal di komplek perumahan kami. Si bungsu kemudian berteman baik. Kami senang-senang saja karena ia punya kawan main seusia.

Namun dalam perjalanan waktu, anak saya tiba-tiba mogok sekolah. Dengan alasan malas, ia lebih suka bermain dengan anak tetangga yang tak bersekolah tadi.  Hampir tiga bulan anak saya itu mogok tidak datang ke sekolah.

Kami sempat berkonsultasi dengan guru tentang penyebab si bungsu mogok sekolah. Dugaan kemudian mengarah pada kemungkinan ia trauma di sekolah karena pernah di ditinggal di WC sendirian. Kala itu guru tersebut mengaku mengantar anak saya ke WC, lalu sibuk dengan bocah lainnya yang berkelahi sehingga lupa pada anak saya.

Kami juga membicarakan tentang kemungkinan ia jadi malas bersekolah karena bergaul dengan anak tetangga yang tak sekolah tadi. Guru tersebut menduga hal itu ada pengaruhnya.

Karena berpikir masih anak-anak, kami tak memaksa untuk memisahkan pergaulan anak saya dengan anak tetangga tersebut. Toh masih anak-anak. Kami ingin anak saya melakukan kegiatan dengan tidak terpaksa; bermain hepi, belajar juga hepi.

Sejak naik di TK besar (TKB),  anak saya tak lagi bergaul dengan anak tetangga yang belum sekolah tadi. Dia pun jadi kembali bersemangat untuk ke sekolah. Bahkan, lebih bersemangat dari sebelumnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline