Lihat ke Halaman Asli

Biso Rumongso

Orang Biyasa

[KCV] Kado Amanda Buat Eyang (1)

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13291503811809626463

[caption id="attachment_160937" align="alignnone" width="646" caption="photoshopessentials.com"][/caption]

Nomor 113 (Erlina Jusup + Wito Karyono)

Kota kecil itu tak lagi sunyi bagi Hanum. Meski lokasinya tetap jauh dari pusat keramaian, bahkan jalan rusak penuh lubang menuju rumahnya belum juga diperbaiki, Hanum tak lagi merasa kesepian.

Sejak berdirinya Base Transceiver Station (BTS) operator seluler di kota itu, sinyal handphone dan internet bukan lagi sebuah masalah. Sebagian warga merasa menjadi lebih mudah berinteraksi bahkan hingga ke luar negeri.

Secara fisik, saat malam tiba, kota itu tampak sepi. 10 tahun terakhir tak ada pembangunan fisik. Orang bilang karena kota itu berada di Sumatera, bukan di Jawa. Namun kehadiran sinyal telepon jauh lebih penting dari sekadar pembangunan jalan dan gedung-gedung.

Djarot, suami Hanum memberi hadiah sebuah laptop berikut modem pada ulang tahunnya ke-30. Katanya, agar ia dan anak-anak mengetahui perkembangan dunia luar. “Nonton televisi saja hanya bikin kita tambah bodoh. Kalau internet kita bisa memilih pengetahuan yang bermanfaat.” Ungkap sang suami.

Meski televisi menjadi satu-satunya hiburan sebelum internet di rumah itu, pasangan Hanum-Djarot tak membiarkan anak-anaknya seharian di depan televisi. Mereka menganggap sebagian besar acara televisi, terutama sinetron dan infotainment, terlalu berlebihan sajian dan ceritanya, tidak mendidik!

Dengan internet, mereka bisa mencari hal-hal yang sulit ditemukan di kota itu. Menggali ilmu pengetahuan dan membuat anak semata wayangnya, Amanda, bisa belajar huruf dan kata. Dan terbukti lebih efektif, Amanda jadi bisa cepat membaca.

Bagi Hanum sendiri, dengan laptop dan modem ia bisa terkoneksi dengan jaringan dunia maya. Kegemarannya akan dunia fiksi semakin menjadi. Beberapa komunitas fiksi ia jelajahi dan beberapa ia ikuti. Dari awalnya hanya membaca, Hanum selanjutnya memberanikan diri untuk mulai menulis dan tanpa ragu mempublish karya-karyanya tersebut.

Satu dua fiksi semula ia tunjukkan kepada suaminya. Lama lama langsung kirim, karena suami sudah mempercayainya 100 persen. “Yang penting jangan berisi hasutan,” ucap Djarot, suami tercinta yang ia kenal sejak bangku kuliah.

Suatu hari, salah satu komunitas fiksi yang diikuti Hanum membuka ajang Kolaborasi Cerpen Valentine [KCV]. Hanum berharap suaminya lah yang menjadi partner menulis dalam event itu. Perjuangan cinta mereka sepertinya layak untuk diangkat menjadi tema KCV.

***

Bagi orang yang tidak mengenal secara dekat, Hanum dan Djarot adalah sepasang kekasih yang sangat serasi. Hanum yang berkulit kuning langsat, bertubuh ramping, tinggi semampai berjalan beriringan dengan Djarot yang bertubuh atletis.

Setiap hari mereka berdua selalu terlihat beriringan pergi dan pulang kuliah bersama. Tempat kos mereka berdekatan. Tetapi taraf hidup orang tua keduanya berlainan. Hanum berasal dari keluarga berada, sementara Djarot berasal dari keluarga sederhana yang tinggal di desa terpencil di Pulau Sumatera.

Namun cinta terkadang tak memandang status sosial. Kesamaan cara pandang dalam menghadapi masa depan menjadi perekat utama. Hanum dan Djarot bertekad meraih gelar Sarjana Pendidikan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Keduanya ingin mengabdikan ilmu yang mereka peroleh secara maksimal.

Dengan kesungguhan hati, target lulus cepat pun tercapai. Hanum dan Djarot diwisuda secara bersamaan. Mereka memberitahu kabar gembira itu kepada orangtua masing-masing.

Djarot berencana akan melamar Hanum selepas acara wisuda nanti. Sepasang cincin tunangan sudah dipersiapkan. Djarot membelinya dari sisa beasiswa ditambah dengan honor memberikan les bahasa Inggris kepada sejumlah siswa SMP dan SMA.

Acara wisuda berlangsung meriah. Semua wajah terlihat bergembira. Djarot menerima penghargaan sebagai wisudawan dengan predikat Cum Laude. Orangtua Djarot gembira hingga meneteskan air mata. Mata Hanum pun berkaca-kaca karena sahabat sekaligus orang yang dicintainya itu telah membuktikan bahwa status sosial tidak bisa dijadikan ukuran keberhasilan seseorang dalam dunia pendidikan.

Selesai wisuda, rombongan kecil itu bergerak menuju rumah makan yang sudah direncanakan Djarot dan Hanum sebelumnya. Djarot sengaja meminjam mobil seorang dosen yang selama ini sering memakai jasanya sebagai asisten. Sementara Hanum dan kedua orang tuanya menaiki mobil mereka sendiri.

Meskipun suasana gembira meliputi acara makan siang itu, tetapi tak dapat dipungkiri Djarot merasakan ketegangan yang luar biasa. Ketakutan akan ditolak menjadi menantu di keluarga Hanum membuat selera makan Djarot berkurang. Nasihat kedua orang tuanya sajalah yang menguatkan hati Djarot untuk tetap pada rencananya semula.

“Jadi lelaki itu harus berani, Nak! Apabila keinginan dihati sudah bulat, satukan tekad, wujudkan!” Ayah Djarot yang dikenal pendiam itu bicara lantang untuk meyakinkan anak semata wayang dalam menggapai mimpinya. Djarot hanya menundukkan kepala saja.

Djarot meminta kepada pelayan untuk membersihkan sisa makanan. Ternyata hanya Djarot yang tidak berselera makan, yang lain terlihat tak menyisakan makanan di piringnya masing-masing. Tak salah Hanum memilih rumah makan kegemaran mereka ini untuk menjamu orangtua mereka.

“ Bapak dan Ibu yang saya hormati! Ijinkan saya untuk menyampaikan hajat dihati. Sebenarnya pada kesempatan ini saya ingin melamar putri Bapak dan Ibu untuk menjadi pendamping hidup saya dunia dan akhirat.” Begitulah Djarot berkata setelah berhasil menenangkan degup jantung yang memburu. Ia memandang Hanum, berharap anggukan kepala tanda setuju.

“Nak Djarot, bukannya kami tidak setuju dengan niat kalian. Tetapi ini terlalu cepat. Lebih baik kalian mencari pekerjaan terlebih dahulu, berkarir dalam dua atau tiga tahun ini sehingga cukup modal untuk berkeluarga. Bapak dan ibu tidak ingin kalian mengalami masalah rumah tangga hanya karena ketiadaan dana.” Sepertinya kata-kata yang keluar dari mulut Pak Suharto, ayah Hanum sudah direncanakan dari awal. Teratur, indah, dan terlihat tenang-tenang saja.

“Bila Bapak ijinkan kami hanya ingin bertunangan saja dahulu. Mungkin pernikahan akan dilaksanakan di saat kami sudah siap lahir bathin.” Djarot berusaha bernegosiasi.

“Biarlah kami pikirkan dahulu masalah pertunangan ini. Kami harap kalian memahami kondisi kami.” Pak Suharto terus mengelak, Hanum memandangi ayahnya yang seolah-olah memiliki rencana berbeda.

***

Hanum tertegun di depan laptop. Pikirannya menerawang ke masa lalu. Ah, betapa pengalaman masa lalu, sekalipun pahit, selalu menjadi manis untuk dikenang.

Ia lalu menutup laptopnya. Ia harus menghentikan sementara menulis fiksinya karena harus menjemput Amanda di sekolah. Hanum menjemput sang anak dengan sepeda motor bebek maticnya.

Di sekolah, Hanum terlibat obrolan dengan para ibu lainnya. Obrolan itu diakui Hanum sebenarnya tak bermutu karena berisi sekitar gosip tentang guru, orangtua siswa , hingga para suami mereka. Hanum tak menghindarinya karena dari perbincangan tersebut sering memunculkan ide untuk fiksi-fiksinya.

Hingga bel sekolah berbunyi kadang-kadang obrolan kaum ibu penjemput anak itu tak juga berhenti saking serunya. Untungnya Hanum bisa mengendalikan diri. Ia memilih langsung pamit untuk menjumpai anaknya dan pulang bersama. Ia berharap segera setelah sampai di rumah dapat melanjutkan tulisan karya fiksi KCV yang tertunda.

Saat melepas baju seragam Amanda, tiba-tiba bocah itu bertanya. “Bu, hari Valentine itu apa sih?” Hanum terdiam sejenak mendengar pertanyaan itu. Beberapa hari lagi memang perayaan Valentine, dan Hanum kini sedang mencari ending fiksinya yang paling menarik.

“Oh, itu hari kasih sayang, Nak. Seperti Ibu sayang Amanda, Amanda sayang teman. Atau Amanda sayang si pus kucing kita.” Hanum memandang anaknya yang tampaknya belum paham.

“Hari Valentine biasanya dirayakan oleh orang-orang kota. Kalau di sini nggak ada yang merayakannya karena mereka kurang mengenal.” Hanum tetap melihat aroma tak puas di wajah Amanda.

Hanum jadi ingat masa kecilnya. Kala itu ia mendapat hadiah baju indah warna pink dan coklat berbentuk hati dari ayahnya di hari Valentine. Ia juga memperoleh sejumlah buku komik kesukaannya. Sejak kecil ia memang gemar membaca dan pernah bercita-cita jadi penulis novel.

Ayahnya menjelaskan bahwa hadiah itu sebagai simbol kasih sayang ayah pada anak. Kala itu, ayahnya memang sangat memanjakannya. Hanum pun menjadikan ayah sebagai salah satu idolanya.

Ah, tapi Hanum buru-buru melupakan lamunannya. Ia tak ingin masa kecil Amanda disamakan dengan masa kecilnya. Hanum tak ingin materi jadi ukuran utama dalam mendidik anak.

Ia tak ingin memaksakan Amanda untuk mengetahui apa makna Valentine’s Day sesungguhnya. Hanum ingin Amanda berkembang sesuai dengan lingkungannya, lingkungan kota kecil.

Hanum selanjutnya tenggelam dengan tulisan fiksinya. Djarot juga sibuk dengan pekerjaannya sehingga kolaborasi terpaksa dilakukan via telepon. Tahun lalu Djarot terpilih sebagai guru teladan dan tak lama lagi akan mendapat promosi menjadi wakil kepala sekolah.

Tatkala Amanda datang lagi menanyakan seputar Valentine’s Day, Hanum segera mamanggil asisten rumah tangganya untuk mengajak main sang buah hati. Untuk sementara waktu ia merasa tak bisa diganggu. Meski deadline pengiriman fiksi KCV masih dua pekan, ia tak mau menunda pekerjaan.

Ia ingin karya fiksinya meninggalkan kesan mendalam bagi pembacanya. Dan itu tidak mudah memang.

Lanjutannya di sini.

[KCV] Kado Amanda Buat Eyang (2-Habis)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline