Lihat ke Halaman Asli

Biso Rumongso

Orang Biyasa

Benci Menceritakan Profesi Ayah

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13282783571964012115

[caption id="attachment_158790" align="aligncenter" width="630" caption="Padatnya Jakarta. Profesi apa pun ada di sini (google.com) "][/caption] Bagi banyak siswa, menceritakan keseharian ayah untuk tugas sekolah, mungkin mudah. Tapi Yanto tidak. Ia lebih suka mengerjakan pekerjaan rumah (PR) terkait soal-soal bahasa Indonesia, sejarah, IPA, IPS, bahkan matematika. Yanto bukan berasal dari keluarga broken home. Kedua orangtuanya masih lengkap. Hanya saja, ayahnya jarang pulang. Sang ayah bekerja di Jakarta, Yanto sendiri tinggal bersama ibunya di desa. Beberapa teman Yanto ayahnya juga mencari nafkah di Jakarta. Namun pekerjaan mereka jelas. Umumnya sebagai pedagang dan selalu pulang pada hari-hari besar seperti Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran dan Hari Raya Idul Adha. Ada juga yang pulang setiap hari libur tahun baru atau pas ada pencoblosan Pilkada dan Pilkades. Sedang ayah Yanto tak jelas pekerjaannya. Pulang ke kampung pun bukan hari besar. Kata ibunya justru hari-hari besar seperti itu ayahnya sibuk luar biasa di Jakarta. Ayah Yanto pulang pada hari biasa, saat Yanto tidak libur sekolah. Pernah Yanto bertanya pada ibunya soal pekerjaan ayah. Ibu Yanto menjawabnya singkat: bilang saja mencari uang di Jakarta. Ketika Yanto menebak apakah ayahnya berprofesi pedagang seperti ayah beberapa temannya, sang ibu menggeleng kepala. “Tulis saja swasta,” ucapnya. Begitulah Yanto mengawali cerita tentang ayahnya yang bekerja di perusahaan swasta. Tapi perusahaan apa? Dan bagaimana aktivitas keseharian dengan pekerjaan itu? Yanto tak tahu. Tanpa sepengetahuan ibunya, Yanto pergi ke wartel untuk menelepon sang ayah menanyakan pekerjaan itu. Namun tak ada jawaban. Yanto tak putus asa. Ia menelepon lagi. Hatinya gembira ketika akhirnya seseorang mengangkat teleponnya. “Ayah, pekerjaan Ayah apa sih?!” Yanto setengah berteriak dan langsung pada persoalan. Tak ada jawaban dari seberang telepon. “Ayah, ini Yanto. Yanto dapat tugas dari sekolah. Yanto disuruh cerita tentang pekerjaan Ayah…” “Hei Yanto siapa ini?.” Suara dari seberang telepon mengejutkan Yanto. Suara itu bukan suara ayahnya. “Aku Yanto Yah. Ini Ayah, bukan!” “Bukaaaannn!… Kau salah sambung!” Setelah suara itu, telepon ditutup. Yanto bengong. Ia yakin nomor telepon yang ditujunya tak salah. Tapi mengapa yang menjawab orang lain. Yanto makin bingung. Stres!. *** Ayah Yanto, Sumadi, tak punya pekerjaan tetap. Ia hanya lulusan STM (sekarang SMK) sedang Narti lulusan SMP. Saat menikahi Narti, keseharian Sumadi adalah tukang ojek. Ketika Narti mengandung bayi Yanto, Sumadi merasa penghasilannya kurang. Ia lalu minta izin merantau ke Jakarta. Setelah beberapa bulan, Sumadi baru bisa mengirim uang meski tak rutin setiap bulan. Bagi Narti itu sudah cukup. Ia tahu diri. Kiriman uang dari sang suami lebih utama daripada kehadirannya. Uang itu sangat diperlukan untuk biaya hidup dua anaknya. Kala belum punya adik, Yanto pernah diajak Narti menyusul ayahnya ke Jakarta. Mereka melakukan itu tanpa bilang Sumadi. Narti sendiri punya alasan lain, yakni memenuhi undangan mantan majikannya yang tengah bergembira karena punya cucu pertama. Narti memang pernah tinggal di Jakarta sebagai pembantu rumah tangga. Ternyata tak mudah mencari suaminya. Alamat rumah yang dituju ternyata hanya kontrakan bersama. Kontrakan sejumlah orang dengan pekerjaan beragam. Dari penghuni kontrakan, ibu-anak itu disarankan mencari Yanto di kantor Samsat dan Stasiun Gambir Beberapa orang membenarkan bahwa Sumadi sering ke situ. Tapi kala itu sedang ada urusan lain, entah urusan apa. Narti dan Yanto lalu pulang kembali ke kampung halaman tanpa pernah bertemu yang dicari. Sehari kemudian Sumadi menelepon ke rumah dan marah-marah. Ia marah karena istri dan anaknya ke Jakarta tanpa sepengetahuannya. Apapun alasan yang disampaikan Narti, Sumadi tak bisa menerima. Ia mengancam akan menceraikannya jika Narti kembali mengulangi perbuatan nekatnya ke Jakarta. Sejak itu, Narti tak pernah lagi punya hasrat ke Jakarta, apalagi mencari tahu keberadaan suaminya. Begitupun Yanto, ia tak pernah lagi bertanya tentang ayahnya. Tapi tugas sekolah itu membuatnya harus mengingat lagi soal siapa dan apa pekerjaan ayahnya. Yanto sungguh membencinya. *** Di sekolah, para siswa diminta guru membacakan hasil karyanya di depan kelas. Sebagian besar membacanya dengan lancar. Sebagian dari mereka tampak bangga dengan ayahnya meski berprofesi sebagai petani, pedagang, sopir angkutan, buruh bangunan, pegawai negeri sipil, dan anggota TNI. Tiba giliran Yanto harus membacakan karyanya. Namun gurunya tertegun membaca kertas putih milik Yanto yang hanya berisi dua kata. “Apa yang mau dibacakan?” Gurunya bertanya. Yanto tertunduk malu, juga ketakutan. "Memang kamu baru menulis dua huruf saja  ya? Ini judul atau apa? Masa kamu nggak tahu pekerjaan ayah kamu? Ayahmu belum meninggal dunia bukan?" Pertanyaan beruntun itu kian membuat Yanto tersudut. Ia sungguh tak tahu pekerjaan ayahnya? Ibunya bilang ayah mencari uang, tapi bukankan itu tugas semua ayah? Lalu jika ditulis pekerjaan ayahnya di perusahaan swasta, Yanto takut tak bisa menjelaskan maksudnya. Ia sempat berpikir ayahnya bekerja di kantor polisi karena di kantor Samsat Jakarta yang pernah ia kunjungi saat mencari sang ayah, banyak polisinya. Tapi sang ayah tak pernah berseragam polisi. Terakhir Yanto menuliskan pekerjaan ayahnya di Biro Jasa. Dua kata itu ia lihat juga saat di kantor Samsat. Ya Biro jasa yang dimaksud mungkin terkait urusan pelayanan perpanjangan SIM/STNK dan bea balik nama. Yanto tak berani menuliskan panjang-panjang. “Oooh, jadi ayahmu itu bekerja sebagai calo ya.” Si guru menyimpulkan tanpa ekpresi. Ia lalu mempersilahkan Yanto kembali ke tempat duduknya. Sebelum pulang sekolah, guru membagikan hasil karya yang sudah dibacakan kepada para siswa. Tentu saja dengan nilainya. Yanto memperoleh nilai paling buruk. Yanto tak masalah dengan nilai itu. Tapi yang mengganjal hatinya adalah catatan di bawah nilai tersebut . Catatan itu berisi: Ayah adalah ayah. Apapun profesinya, jangan malu, apalagi membencinya. "Aku tidak malu dengan profesi ayah, tapi benar-benar tidak tahu. Huh!," gerutu Yanto sambil merobek kertas di tangannya hingga serpihan paling kecil.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline