Namanya Wisnu Maruto. Namun orang-orang mengenalnya sebagai Melvis, singkatan dari Mas Elvis. Panggilan itu muncul karena Wisnu sangat tergila-gila pada Elvis Presley, penyanyi idola zaman bahuela.
Melvis merupakan mahasiswa kawakan saat bergabung di sebuah universitas negeri di Surabaya. Beda usianya hingga lima tahun di atas mahasiswa lainnya. Sebelumnya ia pernah kuliah di Yogjakarta. Sedang di Surabaya Melvis menempuh kuliah di dua tempat sekaligus.
Karena kawakan, ia tampak sangat percaya diri. Melvis menjadi salah satu mahasiswa paling bersinar diantara mahasiswa baru yang umumya berasal dari luar Kota Surabaya.
Dalam perjalanan waktu, kawan-kawan pun mulai mengenal karakter Melvis sesungguhnya. Percaya diri yang cenderung berlebihan mungkin sudah menjadi pembawaannya. Tapi semua suka memang. Yang tak suka umumnya mencap dia sebagai sombong. Si omong besar.
Untungnya, selain pandai bergaul, Melvis menyukai humor. Ia seolah tak pernah kehabisan cerita lucu. Misalnya dalam sebuah acara reuni dengan rekan-rekannya setelah 25 tahun kemudian, Melvis yang kini bertubuh tambun menyebut dirinya seksi.
“Itu anak saya yang bilang. Katanya papih sekarang seksi. Apa itu seksi? Ternyata singkatan dari seket siji (51 tahun, umur Melvis sekarang ini).” Peserta reuni tertawa mendengarnya.
Ya penampilan Melvis memang tak banyak berubah. Yang berubah adalah tubuhnya yang sangat subur. Jika dulu 60 kg sudah dianggap kelebihan, kemarin ia mengaku beratnya 95 kg.
Dengan balutan jaket kulit warna coklat muda, kaos hitam, celana hitam dan kaca mata hitam, Melvis tampak seperti seorang bos yang berhasil menaklukan ibu kota. Aslinya dia memang pengacara cukup sukses.
Seorang kawan yang tadinya merasa paling gemuk, jadi merasa lebih kurus setelah kehadiran Melvis.
“Saya pernah mencoba menguruskan badan. Tapi dilarang oleh staf saya di kantor. Katanya, pengacara sukses kok badannya kurus. Ya sudah saya pertahankan tubuh seperti ini. Yang penting sehat, bukan?.” Melvis menoleh kawan-kawannya seolah persetujuan. Meski tanpa anggukan, Melvis sudah tahu semua kawannya pasti setuju.
Melvis pun lalu bercerita tentang tentang klien, tentang anak, tentang rumah, dan tentang mobil-mobil koleksi dengan nomor khususnya. Seorang kawan kemudian nyeletuk. “Sekarang dosennya sudah datang,” katanya.
Ini karena semua perhatian peserta reuni yang tak sampai 20 orang terpusat mendengarkan celotehan Melvis. Sebelum Melvis hadir, mereka bercerita sendiri-sendiri. Melvis berhasil menjadi sosok pemersatu.
Meski tergolong alumni paling sukses, hampir semua kawan merasa aneh karena Melvis tak mempunyai akun fesbuk hingga sekarang. Hare gene gitu loh nggak punya fesbuk. Acara reuni-reuni yang bermunculan di berbagai tempat pun umumnya karena faktor fesbuk.
Pertanyaan itu kemudian terlontar dan Melvis lagi-lagi menjawabnya dengan humor.
Katanya, pernah ia dua kali dibuatkan akun fesbuk oleh anak dan kawan SMA-nya. Namun karena tak pernah digunakan, Melvis lupa password-nya. Tapi kenapa tak pernah digunakan? Melvis menyebut karena aktivitasnya sangat tinggi.
Surat menyurat via email sudah diurusi sekretarisnya. Tugas dia adalah melakukan lobi dan mendampingi klien. “Daripada ngurusi fesbuk saya memilih kursus bahasa Mandari karena klien saya di Jakarta kebanyakan berasal dari etnis China,” ujarnya.
Sebelum masuk ke Ibukota, Melvis mengawali karier kepengacaraannya di kota di Malang dan Surabaya, Jawa Timur.
“Sebenarnya saya tak bisa berfesbukan karena saya tak terbiasa mengetik lagi, apalagi mengetik di handphone. Tangan saya tak bisa selincah kalian.” Melvis tertawa sambil memperagakan mengetik sesuatu di hanphonenya yang tampak menjadi lebih kecil, karena tertutup dua jempolnya yang besar dan gemuk.
“Oooh, jadi karena jempol ya?” Seorang kawan menyimpulkan, disambut anggukan dan tawa yang lainnya. Melvis ikut tertawa, ia tak menyesal dengan “kelebihan” sekaligus kekurangannya itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H