Dalam dunia pers, dewasa ini analisis hingga pemberitaan mengenai masalah agama sudah bukan lagi hal yang biasa untuk diperbincangkan. Hal-hal yang berkaitan dengan agama bahkan menjadi "layak" untuk dijual. Seringkali pemikiran tentang keagaamaan menjadi santapan pembaca surat kabar, majalah, televisi, bahkan media massa. Begitu pula yang terjadi di Indonesia, pemikiran keagamaan bahkan menjadi kebutuhan spiritual bagi para pembaca.
Dalam praktik jurnalistik, terdapat model/aliran pemberitaan yang berisikan bahasan tentang keagamaan. Jurnalisme Profetik seringkali dianggap sama dengan Jurnalisme Islami, namun sebenarnya keduanya berbeda, lho. Yuk kita simak!
Mulanya, jurnalisme profetik muncul atas gagasan Parni Hadi yang merupakan seorang ideografi sekaligus jurnalis yang sudah menekuni profesinya sejak Era Orde Baru hingga Era Reformasi. Jurnalisme Pofetik (prophetic journalism) biasa di sebut sebagai jurnalisme nabi atau jurnalisme kenabian. Kata prophetic di serap dari bahasa Inggris nabi yang artinya prophet, jurnalisme yang mencerdaskan dan mencerahkan.
Kenapa sih disebut jurnalisme kenabian?
Sebab aliran jurnalisme ini memegang prinsip empat kode etik Nabi Muhammad Saw., yakni: Shiddiq (kebenaran), Tabligh (menyampaikan), Amanah (dapat dipercaya), dan Fathanah (cerdas/bijaksana). Ke-empat kode etik nabi ini juga sesuai dengan fungsi media; shiddiq (menyampaikan kebenaran, to inform), amanah (mendidik, to educate), tabligh (menghibur, to entertain), dan fathanah (melakukan kontrol sosial, social control), (Hadi, 2017: 113).
Jurnalisme profetik juga mengaplikasikan sebagai dakwah meoliputi dua bentuk; dakwah bil Qalam (penyampaian informasi), dan dakwah bil Hal (dibarengi dengan aksi). Informasi yang disampaikan dakwah bil Qalam dapat berupa berbagai pandangan tentang kehidupan sosial, politik, maupun pemikiran-pemikiran lain Jurnalisme Profetik.
Lalu apa sih perbedaannya dengan jurnalisme islami?
Jurnalisme islami memegang prinsip 'amar ma'ruf nahi munkar, praktiknya berdasarkan Al-Qur'an dan hadist Rasulullah Saw. Jurnalisme Islami biasanya juga disebut sebagai jurnalisme dakwah, yang mana tiap penulis yang beragama Islam wajib menjadikan Islam sebagai ideologi dalam profesinya. Dalam praktiknya juga jurnalisme islami menyebarkan berbagai peristiwa yang memuat tentang nilai-nilai Islam tentu tetap mematuhi kaidah-kaidah dan norma yang bersumber dari Al-Qur'an dan hadist.
Sedangkan jurnalisme profetik sendiri memegang prinsip pada empat kode etik nabi; shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Keempat akhlak Rasulullah itu bersifat universal. Karena itu Jurnalisme Profetik juga bersifat universal, tidak tergantung agama apa yang dianut. Artinya termaktub dalam ajaran para nabi, ulama, pendeta, orang- orang suci, filosof dan para guru kebajikan dari agama dan ideologi apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H