Lihat ke Halaman Asli

Mungkinkah Rumah Tangga Tanpa Pembantu?

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasti mayoritas keluarga di Indonesia menjawab tidak mungkin. Bagaimana tidak, karena selama ini pembantu adalah bagian penting dari keluarga. Pembantu adalah orang yang kita bayar untuk mengerjakan seluruh pekerjaan rutin rumah tangga seperti menyapu/mengepel, mencuci/memasak dan menjaga anak-anak kita di rumah. Pembantu dianggap tulang punggung kelangsungan roda kehidupan keluarga. Tanpa pembantu kehidupan keluarga digambarkan akan menjadi menjadi runyam.

Rumah Tangga di Negara Lain JarangAda Pembantu

Jika demikian adanya, mengapa di luar negeri seperti contoh negara tetangga kita malaysia, singapura bahkan di negara maju seperti Jepang, Amerika dan negara-negara maju di Eropa jarang ada keluarga yang memiliki pembantu? Dan Bagaimana mereka bisa melakukannya? .Bagaimana mereka bisa hidup mengelola rumah tangga dan memiliki anak tanpa adanya pembantu? Bahkan banyak keluarga Indonesia yang sempat tinggal di luar negeri tersebut juga tidak memiliki pembantu, namun bila kembali ke Indonesia lagi memerlukan pembantu?

Ternyata jawabannya mudah. Karena masih ada orang Indonesia yang bersedia bekerja/dibayar jadi pembantu. Meski saat ini cukup sulit mendapatkannya dibanding dulu, karena terbukanya lapangan kerja menjadi buruh di daerah asalnya, tetap saja ketersediaan yang meski terbatas ini menjadi satu peluang untuk tetap mempertahankan keberadaan pembantu di rumah tangga. Meski saat sekarang gaji pembantu/baby sitter cukup tinggi, tetap saja banyak orang memburunya karena merasa tidak mampu untuk menjalankan roda rumah tangga tanpa mereka.

Perubahan Perilaku Pembantu

Kondisi ini menyebabkan perubahan pola tingkah laku pembantu. Akhir-akhir ini jarang ada pembantu yang bekerja lebih dari 1 tahun di satu tempat. Fenomena ini menyebabkan Ibu-ibu rumah tangga khususnya wanita karir yang bekerja di luar rumah saat ini harap-harap cemas. Bagaimana tidak karena mereka harus menebak-nebak apakah pembantunya akan balik lagi atau tidak setelah mudik. 2 minggu sudah lebaran berlalu, besar kemungkinan mereka tidak kembali. Artinya mereka harus mencari pembantu baru lagi. Apakah si pembantu tadi memang tidak balik ke kota? Biasanya tidak demikian. Si pembantu seringkali mencari majikan baru yang dianggap lebih menguntungkan baginya secara materil. Dari wawancara yang pernah saya saksikan di TV dikatakan mereka selalu mencari rumah tangga yang memberi gaji tinggi, keluarga kecil dan yang tidak mengekang (dari kacamata mereka). Mereka kini punyabargaining (daya tawar) dan cenderung ’besar kepala’ karena merasa diperlukan. Tak heran ulahnyamacam-macam. Dari yang kerjanya malas sampai yang gayanya lebih hebring dari majikan. Meski mengeluh, para majikan memilih diam dan bersikap masa bodoh. Karena mereka takut jika salah menegur akan beresiko pembantu berhenti/keluar. Padahal perlakuan ini tidak menjamin kesetiaan si pembantu untuk tetap bekerja pada majikan yang sama dalam waktu panjang.

Stop Ada Pembantu

Menyikapi hal itu maka saya mengambil langkah besar pada pertengahan tahun 2008. Tidak kembalinya 2 orang pembantu setelah libur lebaran tahun itu saya pakai sebagai momentum untuk menghilangkan ketergantungankepada pembantu. Saya merasa sudah lelah dengan perilaku mereka dalam 5 tahun terakhir. Sering pulang kampung, malas, suka pacaran, suka ngambek dan lain-lain yang membuat saya sering mengurut dada. Sabtu Minggu sering ijin pergi menginap ke rumah saudaranya (yang saya tidak tahu apakah itu benar) dan bila di rumah banyak dikunjungi teman laki-laki. Pekerjaan rumah tangga seringkali terbengkalai. Serentetan masalah itu menyebabkan kami harus gonta ganti pembantu tiap tahun. Saya memandang waktunya tepat, karena anak-anak sudah cukup besar untuk mandiri di rumah. Kebetulan juga anak tertua saya waktu itu sudah kuliah di Bandung semester 1 dan kos, sehingga tidak lagi tinggal dengan kami. Di rumah hanya tinggal kami berempat, yaitu suami saya, saya dan anak saya 2 orang 1 laki sma kls 1 dan 1 orang perempuan smp kls 1.

Alah bisa karena biasa

Meski awalnya kelimpungan karena harus bekerja membersihkan rumah sendiri, memasak, mencuci baju/setrika, lama kelamaan hal itu menjadi sesuatu yang biasa dan tak lagi melelahkan. Kuncinya dengan membuat cara dan jadwal kerja yang efektif. Sekeluarga harus bisa bekerjasama dalam membagi pekerjaan rumah tangga. Diperlukan pengertian yang baik di antara sesama anggota keluarga. Sehingga jika sebelum dan sesudah lebaran kebanyakan keluarga panik ditinggalkan pembantunya mudik, maka kami bisa tenang beribadah puasa tanpa ada gangguan. Uang yang biasanya dipakai untuk THRdan biaya transportasi pembantu mudik yang biasanya cukup besar, kini bisa dialihkan untuk liburan keluarga.

Alhamdulillah 3 tahun sudah berlalu, maka kini kami memetik hasilnya. Saya sudah bisa mengatur waktu dan berkarir sebagai konsultan psikologi. Meski jabatannya makin tinggi dan sibuk kerja, suami tidak segan terjun membantu dalam urusan rumah tangga. Bahkan anak-anak kami sekarang lebih mandiri dibanding anak-anak lainnya.

Jadi....mungkinkah rumah tangga tanpa pembantu?

Jawabannya :

B I S A !!!

Pulomas, 13 Sepetember 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline