Wani adalah nama tumbuhan, ia bukanlah mangga namun berkerabat dengan mangga. Wani sebenarnya tumbuh di sebagian wilayah Indonesia, walaupun begitu banyak orang yang belum pernah mencicipinya. Bahkan ketika saya kuliah dulu, teman-teman dari luar Bali rata-rata tidak pernah melihatnya, apalagi memakannya. Di Bali Wani adalah salah satu buah lokal yang hadir di pasar dan sangat diminati konsumen jika musimnya telah tiba.
Wani terdiri dari beberapa varietas yakni wani tembaga, madu dan ngumpen yang paling disukai karena nyaris tanpa biji. Walaupun bentuknya sekilas mirip dengan mangga namun ketika dikupas dagingnya memiliki warna yang berbeda, yakni berwarna putih, berserat dan rasanya asam manis.
Wani tumbuh di dataran tinggi, dan karena saya berasal dari kaki gunung batukaru di Penebel, Bali (walaupun akhirnya menikah dan mengikuti suami ke pesisir pantai) dearah saya adalah salah satu daerah penghasil wani. Saya juga tahu persis di tempat saya pohon wani tidak dibudidayakan secara khusus, ia tumbuh di kebun tanpa ada yang tahu siapa yang menaman dan berapa tahun usianya, mungkin karena buahnya yang matang jatuh dan akhirnya dia tumbuh lagi, begitu seterusnya.
Tapi dilansir dari bisnisbali.com sekarang ini di tempat lain, misalnya di Kabupaten Buleleng sudah ada yang membudidayakannya, walaupun pohon yang ditaman tidak banyak, dengan menaman bibit unggul yang bisa berbuah setelah 3 tahun ditanam.
Dikutip dari kapanlagi.com wani tanpa biji merupakan hasil perkembangbiakan melalui kultur yang dilakukan salah seorang putra Bali. Lebih lanjut dilansir dari merdeka.com bibit wani jenis unggul itu disetujui pada tahun 2007.
Maka tidak heran kemudian di pasar jika musim wani tiba banyak varietas wani yang muncul. Wani termasuk buah klimakterik, yakni proses pematanggannya terus berlanjut walaupun sudah dipetik (boleh diperam). Saat belum matang pun banyak yang membelinya untuk membuat rujak bumbu Bali, atau dimakan langsung, seperti cara memakannya mirip cara makan buah jambu biji.
Wani akan mulai berbunga bulan Juni sampai dengan Desember dan buahnya matang antara bulan September sampai Maret. Musim wani sangat ditunggu, apalagi di kalangan anak-anak desa, di akhir tahun saat angin mulai berhembus kencang wani mulai matang, di Bali disebut sasih keulu (perhitungan kalender Saka) anak-anak akan menunggu di bawah pohon wani, wani jatuh dari pohon, mereka berebut dan biasanya langsung memakannya tanpa diperam lagi.
Pemilik pohon wani juga biasanya mulai bersiap-siap memanen wani di kebunnya, dengan menyewa seorang 'tukang penek' atau dalam bahasa Indonesia artinya seorang pemanjat. 'Tukang penek' adalah orang yang ahli dalam memanjat pohon yang tergolong tinggi seperti pohon wani.
Jika tidak berniat menyewa tukang penek, biasanya wani dijual kepada 'Tukang Pajeg' atau seorang yang berani membeli wani dengan harga tertentu walaupun wani masih berada di atas pohon. Dengan memperhatikan wani dari bawah pohon ia berani memperkirakan harga dan ia langsung membawa 'tukang penek' untuk memetik wani tersebut.
Wani dipetik biasanya dimasukkan ke dalam karung yang diikatkan di pinggang 'tukang penek', lalu dikumpulkan dalam keranjang berukuran besar, baru kemudian dijual ke pasar.
Jadi yang berencana liburan ke Bali di akhir tahun dan belum pernah mencoba buah wani, mungkin saatnya mencicipi sensasi buah wani, dengan rasa dan aroma yang khas atau mungkin dijadikan oleh-oleh.