Tabanan adalah kota yang mendapat julukan lumbung beras di pulau Bali, selain itu daerah persawahan dengan sistem irigasi yang disebut subak di Jatiluwih juga telah dikukuhkan sebagai salah satu situs Warisan Budaya UNESCO.
Padi varietas beras merah adalah padi yang wajib ditanam oleh petani di subak tersebut, selain itu berbeda dengan petani di desa lain di Tabanan, di Jatiluwih petani hanya membajak sawah menggunakan sapi (karena bentuk sawah di desa tersebut terasering dengan petak yang kecil) dan memupuk serta mengendalikan hama dengan cara alami.
Desa Jatiluwih yang masih alami, membuat ribuan kuntul datang mencari makan desa ini. Di desa berbeda, masih di wilayah yang sama yakni kecamatan Penebel, petani sudah mulai menggunakan traktor karena sawah berada di lahan yang landai.
Deru suara traktor seolah memanggil kuntul-kuntul untuk mencari makan pada tanah sawah yang diolah petani tersebut. Seolah mereka sudah saling mengenal dan lama berteman, kuntul tidak merasa canggung, mendekati petani dan traktornya.
Kuntul-kuntul, mamainkan paruhnya menemukan makanan yang ia sukai dibalik tanah yang basah. Kakinya yang jenjang, berjalan lincah di tanah tersebut, berkeliling di sawah mengabiskan waktunya dengan sang petani. Seolah mendapat hiburan, petani dengan semangatnya mendorong traktor sampai satu petak sawah habis diselesaikannya.
Setelah selesai, kuntul mengibaskan bulu-bulunya yang basah, dan berlumpur seolah memberi salam perpisahan. Terbang bersama kawanannya menuju sarang menemui anaknya yang dari pagi telah menunggu.
Begitu pula sang petani, membawa traktornya menuju jalan kecil, tak lupa ia membersihkan tanah yang menempel di tubuhnya di parit yang berair bersih di dekat sawah. Sebelum pulang, tak lupa ia memeriksa bekal makan siangnya yang masih tersisa, dan melanjutkan untuk memakannya sore itu. Kemudian ditutup dengan beberapa teguk air putih yang tersimpan dalam botol.
Di sudut lain, di kota Tabanan, alih fungsi lahan tidak dapat dicegah. Sawah-sawah berubah menjadi bangunan, perkantoran bahkan jalan. Lahan yang masih tersisa di dekatnya tak kuasa bertahan. Air tak lagi bisa mengalir kesana, parit tertutup bahan bangunan, dan hasilnya adalah lahan kering yang tidak bisa diolah lagi. Sang pemilik angkat tangan dan terpaksa membiarkan lahannya pergi bersama investor.
Dilansir dari bali.express.jawapos.com. selama tujuh tahun terakhir yakni 2011 sampai dengan 2017 alih fungsi lahan pertanian di Tabanan 53,40 hektar per tahun atau diperbesar 0,25 persen per tahun.
Sungguh sangat disayangkan bila hal tersebut terus berlanjut, akankah kawanan kuntul kehilangan tempat mencari makan dan tak dapat menyapa petani, 'lumbung beras' Bali menjadi tinggal sebuah cerita, demikian juga Subak yang merupakan kearifan lokal masyarakat Bali dalam mengatur sistem irigasi sawah mereka menjadi punah.
Jangan...jangan sampai terjadi. Kita selalu berharap kepada pemerintah agar mencarikan solusi yang tepat agar pertanian tetap dapat dipertahankan, agar petani masih tetap dapat mengolah sawahnya dengan irigasi yang baik, sehingga mendapatkan hasil panen yang melimpah. Serta harapan agar kawanan Kuntul masih berkunjung ke sawah membantu memangsa hama juga mewarnai hari bersama cerahnya senyum seorang petani.