Lihat ke Halaman Asli

Wistari Gusti Ayu

Saya seorang guru

Gempa Melanda, Arsitektur Tradisional Bali Penting untuk Dilestarikan

Diperbarui: 4 Agustus 2019   10:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rumah Tradisional Bali sumber : water-spot-bali.com

Akhir-akhir ini Indonesia sering dilanda gempa bumi, mulai dari yang berskala kecil sampai yang berskala besar yang menimbulkan kerusakan dan serta kerugian bagi warga, serta menimbulkan korban jiwa.

Di tahun 2019 telah terjadi beberapa kali gempa, dilansir dari kompas.com berdasarkan hasil monitoring BMKG selama Juli 2019, di Indonesia telah terjadi gempa bumi tektonik sebanyak 841 kali.

Terakhir adalah gempa Banten, dilansir dari kompas.com gempa berkekuatan 6,9 mengguncang sebagian besar wilayah Banten, Jumat (2/8/2019). Gempa yang berpusat di 147 kilometer barat daya Sumur, Banten itu juga terasa se-Jawa Barat, Jakarta, dan Jawa Tengah.  

Pelaksana Harian (PLH) Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) Agus Wibowo, mengungkapkan, korban yang tewas akibat gempa bumi Banten bertambah menjadi lima orang. 

Seringnya gempa terjadi di wilayah Indonesia karena Indonesia dilalui jalur cincin api, hal sebenarnya telah diantisipasi sejak lama oleh para leluhur kita. Seperti di daerah Bali.

Kearifan lokal dalam rumah adat Bali menunjukkan bahwa, generasi terdahulu sangat tanggap dalam menghadapi bencana gempa bumi. Arsitektur Bali memiliki empat tipologi utama yaitu rumah tempat tinggal, tempat pemujaan, tempat pertemuan dan tempat penyimpanan.

Pembuatan rumah di Bali didasarkan atas konsep Tri Angga, terdiri dari 3 bagian yaitu utama, madya, nista. Bagian atas (utama) diumpamakan sebagai kepala manusia, adalah atap, bagian tengah (madia) diumpamakan sebagai badan dan bagian bawah (nista) diumpamakan sebagai bagian kaki.

Pada bangunan bagian utama berupa atap, dipilih bahan yang ringan, rendah, kokoh dan,kaku, jaman dahulu dibuat dari ijuk dan alang-alang dan sekarang sudah banyak diganti menggunakan genting, bagian tengah berupa dinding dan bagian penyangga, kokoh lentur dan ringan menggunakan tiang yang disebut saka dari bahan kayu, dan bagian bawah berupa lantai dan pondasi, harus berat, kokoh dan kaku, dibuat dari bahan batu atau tanah liat.

Rumah adat sakaroras sumber : wartawisata.id

Bagian tengah karena menggunakan tiang, saat terjadi gempa akan dapat bergoyang karena lentur. Tiang-tiang dalam bangunan Bali berguna untuk mendukung atap yang tersusun rapi dan ringan, tiang-tiang dirangkai rapi tanpa menggunakan paku. Bagian bawah rumah yang kokoh akan mampu menopang bagian atas, sehingga jika gempa terjadi rumah tidak akan roboh.

Jumlah tiang inilah yang kemudian menjadi sebutan dari bangunan Bali, contohnya sakapat artinya bertiang empat, sakanem artinya bertiang enam, dan sebagainya.

Konsep Tri Angga juga berlaku pada pembuatan bangunan selain untuk tempat tinggal yaitu pada bangunan pemujaan, balai pertemuan dan tempat penyimpanan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline