MOS atau Masa Orientasi Siswa yang sekarang ini telah berganti nama menjadi Pengenalan Lingkungan Sekolah, dari waktu- kewaktu masih saja meninggalkan berita duka. Padahal berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, seperti menerbitkan Permendikbud No 18 tahun 2016.
Seolah tidak ada kapok-kapoknya, ada saja oknum yang melakukan tindak kekerasan kepada siswa baru. Bahkan yang baru diberitakan adalah meninggalnya Delwyn siswa SMA Taruna Palembang setelah mengikuti kegiatan MOS. Dikutip dari m.viva.co.id ibu korban Barce, mendapat kabar dari kepala SMA Taruna Indonesia bahwa anaknya meninggal di RS Myria. Karena melihat ada yang janggal yakni memar di lutut kiri anaknya, Barce kemudian melaporkan hal ini ke polisi. Sampai saat ini masih diadakan penyelidikan mengenai kejadian itu.
Dilansir dari m.cnnindonesia.com, berdasarkan laporan awal pihak yayasan saat menyusun sekolah tersebut pada tahun 2005, Widodo selaku Kepala Dinas menjelaskan SMA Taruna Indonesia Palembang menerapkan sistem yang diterapkan pada SMA Taruna Nusantara. Pelibatan pihak manapun, termasuk pihak TNI dalam pembentukan karakter, kata Widodo, diizinkan dalam rangka membentuk karakter yang ingin dibentuk pada siswa.
Dengan adanya Permendikbud mengenai PLS bagi Siswa Baru, di sekolah manapun di Indonesia, sistem apapun yang dipakai seharusnya tunduk dengan peraturan yang diterbitkan tersebut. Terlebih dalam peraturan tersebut pada pasal 5 ayat 1 a menyebutkan bahwa 'perencanaan dan penyelenggaraan kegiatan hanya menjadi hak guru'; dan pasal 5 ayat 1 b menyatakan 'dilarang melibatkan siswa senior (kakak kelas) dan/atau alumni sebagai penyelenggara'.
Dengan adanya peraturan di atas, hanya guru yang berhak sebagai perencana dan penyelenggara kegiatan, dan juga kakak kelas atau alumni tidak dilibatkan. Jika seandainya peraturan ini dijalankan, tidak ada akses bagi senior untuk melakukan ajang 'balas dendam' kepada adik kelasnya.
Walaupun dalam hal ini dinas melakukan pengawasan terhadap kegiatan pengenalan lingkungan sekolah dan kepala sekolah sebagai penanggung jawab, namun gurulah sebagai ujung tombak yang terjun langsung dalam kegiatan tersebut. Jika guru melepaskan semua kewajibannya dalam merencanakan dan menjalankan kegiatan tersebut dan memberi kesempatan kepada siswa senior yang mengisi acara, bukan tidak mungkin kekerasan itu akan terjadi lagi.
Ketika senior mendapat perlakuan kurang baik saat MOS sebelumnya, ia akan menerapkan "budaya" tersebut kepada adik kelasnya. Seandainyapun susunan acara telah dibuatkan oleh guru hal tersebut bisa saja terjadi. Mereka masih dalam usia muda, masa remaja dimana emosi mereka masih labil, emosi yang juga mungkin kurang dapat terkontrol dan masih sering terbawa suasana dan terpengaruh oleh teman serta lingkungannya.
Anak-anak sangat membutuhkan pengawasan. Di rumah mereka diawasi oleh orang tua mereka, dididik dengan baik, diajarkan tata krama, sopan-santun, kemudian ketika mereka di sekolah hal tersebut merupakan tugas dari guru.
Anak-anak sebaiknya tidak kita biarkan menjalankan PLS yang seharusnya menjadi beban dari guru, walaupun dalam permendikbud ada perkecualian jika kekurangan tenaga guru dapat melibatkan OSIS, tetapi guru sebaiknya tetap mendampingi. Sekolah juga dapat mengundang narasumber yang berkompeten untuk membantu guru menyampaikan materi dalam PLS. Seperti contoh mengundang pihak kepolisian, dalam menyampaikan tata tertib berlalu lintas.
Siapa yang harus dipersalahkan jika ada kejadian tragis di sekolah? Semua mungkin akan 'menunjuk jari' kepada guru. Untuk menghindari hal ini terjadi, dan menjaga nama baik profesi guru, marilah kita bersama mulai menjalankan peraturan yang dirancang dengan sangat matang oleh Menteri kita.
Tidak hanya guru, semua harus mulai bekerja sama, orang tua membimbing anaknya dengan hal baik di rumah, mulai mengajarkan hal-hal kecil yang bersifat positif agar menjadi kebiasaan, guru mendidik, menanamkan ilmu serta menguatkan karakternya di sekolah, mengawasi dengan baik mereka di sekolah sehingga diharapkan tidak akan terulang dan terulang lagi tindak kekerasan saat MOS ini.