Puluhan tahun tinggal di daerah Teluk Gong, Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, membuat saya terbiasa menghadapi banjir. Dari banjir yang hanya semata kaki, sampai banjir yang membuat saya tenggelam, karena hampir 2 meter.
Banyak kisah yang saya alami, karena menjadi korban banjir sejak masih kecil. Saya ingat saat mengalami banjir pertama kali, sekitar tahun 1978. Saya masih kelas 3 Sekolah Dasar. Tiba-tiba saja setelah hujan beberapa jam sekeliling rumah sudah penuh air. Mulai ecek-ecek sampai sepinggang orang dewasa. Karena saat itu belum terlalu banyak rumah, air cukup bersih.
Saya dan teman-teman bergembira karena tidak ke sekolah dan boleh bermain air sepuasnya. Pengalaman yang menyenangkan bagi anak-anak seusia kami, bisa mencari ikan, berenang, bahkan berperahu. Didalam rumah, Ayah membuat semacam bale yang cukup tinggi, untuk tidur kami. Ibu memasak apa saja yang tersedia, karena biasanya kami sering lapar. Seingat saya saat itu belum ada bantuan untuk korban banjir, atau saya tidak mengetahuinya. Yang saya ingat, Ibu membagikan apa yang dimasak kepada beberapa tetangga yang rumahnya juga kebanjiran.
setelah itu, setiap musim hujan, daerah kami pasti banjir. Ketinggian dan lamanya banjir bervariasi. Untuk mengatasi banjir, rumah-rumah didaerah kami dibuat lebih tinggi dari jalan. Jadi yang banjir hanya jalanannya saja, sedangkan di rumah tidak banjir dan kami bisa beraktifitas seperti biasa.
Yang tidak biasa jika terjadi banjir besar, yang datang setiap lima tahun sekali. Biasanya ketinggian air lebih dari 150 Cm, dan ini membuat kami tidak bisa melakukan apapun, bahkan diminta untuk mengungsi. Beberapa warga mengungsi ke rumah saudara yang tidak banjir, atau ke tempat yang disediakan oleh pemerintah. Tapi banyak juga yang tetap tinggal di rumahnya, terutama yang rumahnya memiliki lantai dua.
Banjir besar tahun 2002, memberi kesempatan pada saya untuk menjadi relawan. Saya hanya membantu menghubungi para donatur. Dengan telepon rumah, kami berkomunikasi. Sayangnya, beberapa donatur tidak berhasil sampai ke posko wilayah kami , karena sudah diminta di beberapa posko yang dilewati. Mencegah hal tersebut, kamipun harus mengawal mobil donatur agar sampai di posko dengan utuh. Setelah sampai di posko, pendistribusia bantuan harus dicatat dengan baik. Catatan menjadi penting, agar semua korban mendapatkan haknya.
Jenis bantuan para donatur bermacam-macam, mulai dari makanan (mie, biskuit, makanan ringan), minuman (teh, kopi, susu), sampai pakaian bekas tapi layak pakai. Untuk beberapa hari para relawan membantu memenuhi kebutuhan dasar korban banjir di wilayah kami. Memasak makanan untuk makan tiga kali sehari, menjadi kegiatan rutin. Dengan menu sederhana dan mudah dibuat, misalnya: nasi, mie dan telur dadar atau nasi, tumisan sayur dan telur balado.
Menjadi korban banjir membuat saya terbiasa menghadapi banjir. Kalau sudah masuk musim hujan, maka saya akan mengamankan barang-barang yang tidak boleh kena air ke tempat aman. Bisa dipindah ke lantai dua atau ditaruh di atas tempat yang tinggi jika tetap di lantai satu.
Yang juga penting adalah penanganan pasca banjir. Karena rumah sangat kotor, perlu dibersihkan sebersih-bersihnya. Pada saat ini butuh tenaga ekstra. Jikalau memungkinkan, relawan bisa membantu sampai titik ini.