Lihat ke Halaman Asli

Sosok Pemuda yang Merawat Semangat Keislaman

Diperbarui: 19 Juli 2023   02:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Doc pribadi: Siti Nurizka Puteri Jaya

Dalam beberapa tahun terakhir bangsa kita disibukkan oleh suasana yang kurang menyenangkan terkait terhembusnya isu dan paham khilafah serta radikalisme yang mengancam kemajemukan bangsa Indonesia.

Negara kita, Republik Indonesia berdiri kokoh atas kesepakatan bersama dalam bingkai Pancasila yang di mana memuat nilai-nilai keislaman sebagai landasan sikap untuk kita memiliki kerangka dalam berkehidupan berbangsa.

Dalam hal ini kita harus melihat kembali ke tahun 1945, karena keadaan yang kita hadapi beberapa tahun belakangan ini tidak dapat dilepaskan dari perjalanan kesejarahan bangsa dan negara Indonesia. Semua tokoh Islam pada sidang BPUPKI berjuang supaya Islam dijadikan dasar negara.

Komprominya ialah Piagam Jakarta (22/6/1945). Kelompok Islam bersedia menerima dasar negara Pancasila dengan sila pertama berbunyi, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Karena ada penolakan dari sekelompok kecil umat Kristiani, demi berdirinya negara Republik Islam, para tokoh Islam setuju menghapus tujuh kata Piagam Jakarta. Sila pertama diubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".

Perjuangan mendirikan negara berlandaskan Islam dilanjutkan dalam Konstituante pada 1956--1959, tetapi kembali gagal. Dalam pemungutan suara, kelompok Islam hanya mencapai 53 persen. Karena ada kebuntuan politik, Bung Karno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945. Dalam Dekrit itu, "Piagam Jakarta" dijadikan dasar pertimbangan.

Selama kampanye Pemilu 1971, partai-partai Islam termasuk Partai NU masih memperjuangkan negara berdasarkan Islam. Juru kampanye Partai NU dan partai Islam lain di berbagai daerah sering mendapat perlakuan tidak baik dan tidak adil dari militer. Pada akhir 1984, Muktamar NU menerima Pancasila sebagai dasar negara. Langkah ini diikuti hampir semua ormas Islam.

Menarik bagi saya, mengapa partai Islam dan ormas Islam selama hampir 40 tahun "keukeuh" memiliki pemahaman negara yang berlandaskan Islam? Padahal, sejak 1955, dari beberapa literatur buku yang saya baca berpendapat Pancasila itu layak menjadi dasar negara. Kalau kita cermati Pembukaan UUD 1945, kalimat-kalimatnya mengandung banyak kata bahasa Arab yang sudah menjadi khazanah Islam.

Setelah lama merenungkannya, saya menemukan jawaban. Kita semua tahu bahwa Bung Karno adalah penggali Pancasila. Angkatan saya atau yang lebih tua mengetahui Bung Karno sering menyebut nama dan mengutip pendapat Kemal Ataturk, yang mendirikan Republik Turki yang UUD-nya menyatakan Turki adalah negara sekuler. Karena Bung Karno sering mengutip pendapat Kemal -pendiri negara Turki yang sekuler- wajar kalau banyak tokoh Islam dan pengikut mereka khawatir bahwa negara Indonesia adalah negara sekuler.

Menurut saya, salah satu hal yang ikut mendorong ormas Islam dan partai Islam akhirnya memahami tujuan Bung Karno dalam mengokohkan Pancasila sebagai dasar negara ialah diundangkannya UU Perkawinan pada 1974. UU itu memberi kesempatan bagi diterimanya ketentuan syariat Islam ke dalam sistem hukum nasional. Para tokoh Islam menyadari, tanpa Islam menjadi dasar negara, ternyata ketentuan syariat Islam bisa masuk ke dalam UU. Jadi, ketika ada tuntutan keadaan untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara, pihak yang sebelumnya "keukeuh" dalam pemahaman mendirikan negara berlandaskan nilai-nilai keislaman bisa diyakinkan untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara.

UU lain yang memuat ketentuan syariat Islam, yaitu UU Peradilan Agama pada 1989. Peradilan Agama yang semula di dalam Kementerian Agama beralih ke Mahkamah Agung. Kini pengadilan agama menjadi lembaga peradilan kedua terbesar setelah pengadilan negeri. Setelah itu, lahirlah UU Perbankan Syariah, UU Zakat, UU Haji, UU Wakaf, UU Jaminan Produk Halal, dan UU Sisdiknas yang memberi tempat bagi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Juga telah lahir UU tentang Pesantren. Sejumlah UU ini adalah bagian dari perpaduan keindonesiaan dan keislaman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline