Ditulis Oleh: Wisnu Wardana
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta
Saat ini, media sosial telah menjadi ruang utama bagi individu untuk mengekspresikan kreativitas. Namun, fenomena ini tidak lepas dari komodifikasi, di mana kreativitas berubah menjadi alat ekonomi yang dieksploitasi untuk mendapatkan perhatian, keuntungan finansial, dan status sosial (Couldry & Mejias, 2019). Dari perspektif kritis Andreas Huyssen, media sosial tidak hanya menjadi sarana ekspresi, tetapi juga mesin budaya massa yang memengaruhi cara masyarakat memproduksi dan mengonsumsi konten (Huyssen, 1986).
Menurut DataReportal (2024), pengguna media sosial global telah mencapai 5,04 miliar orang, atau sekitar 62,3% populasi dunia, dengan rata-rata pengguna menghabiskan 2 jam 23 menit per hari di media sosial.
Di Indonesia, durasi ini lebih tinggi, yaitu rata-rata 3 jam 11 menit per hari, menjadikan Indonesia salah satu negara dengan penggunaan media sosial terlama di dunia (DataReportal, 2024). Platform seperti TikTok dan Instagram mendominasi perhatian pengguna dengan rata-rata waktu penggunaan masing-masing 34 jam dan 28 jam per bulan (Statista, 2024). Laporan yang sama juga mencatat bahwa investasi dalam iklan digital, termasuk kolaborasi dengan pembuat konten atau influencer, meningkat sebesar 17% pada tahun 2023. Angka ini mencerminkan bahwa konten kreatif tidak lagi hanya dianggap sebagai hiburan tetapi juga sebagai alat pemasaran yang sangat efektif (Kaplan, Haenlein, & Andrei, 2023).
Dalam pandangan Huyssen, budaya massa menciptakan standar estetika yang homogen (Huyssen, 1986). Di media sosial, algoritma platform menentukan konten mana yang layak ditampilkan berdasarkan tingkat keterlibatan (engagement), yang sering kali memaksa pembuat konten untuk menghasilkan materi yang sesuai dengan tren populer, mengorbankan orisinalitas demi relevansi pasar (Bucher, 2018). Sebagai contoh, banyak konten viral di TikTok mengadopsi format tertentu, seperti tantangan tarian atau tren suara, yang semuanya diatur oleh logika kapitalisme digital. Akibatnya, kreativitas individual menjadi terfragmentasi dan terstandarisasi, menghasilkan konten yang lebih berfokus pada daya tarik pasar daripada ekspresi diri yang otentik (Zulli, 2022).
Komodifikasi Kreativitas dan Identitas Digital
Komodifikasi di media sosial membawa dampak signifikan, baik positif maupun negatif. Di satu sisi, platform ini memberikan peluang bagi individu untuk memonetisasi kreativitas mereka. Banyak kreator konten mampu menjadikan aktivitas online sebagai karier penuh waktu, menghasilkan pendapatan dari iklan, sponsor, atau penjualan produk (Abidin, 2021).
Namun, ketergantungan pada media sosial untuk validasi sosial sering kali menciptakan tekanan psikologis, terutama bagi kreator konten yang menghadapi tuntutan konstan untuk memproduksi materi yang menarik, yang pada akhirnya dapat memengaruhi kesehatan mental mereka (Duffy & Hund, 2019).
Selain itu, masyarakat umum semakin terbiasa mengonsumsi konten dalam format cepat dan dangkal, melemahkan kapasitas mereka untuk menikmati karya kreatif yang mendalam (Nichols, 2023). Sebagai pengguna, penting untuk mendukung kreator yang menawarkan perspektif unik dan konten yang mendidik atau memotivasi. Dengan demikian, kita dapat mendorong ekosistem digital yang lebih sehat, di mana kreativitas dihargai sebagai bentuk ekspresi manusia, bukan sekadar alat kapitalisme digital (Fuchs, 2021).