diiringi lagu gigi dengan vokalis armand maulana, saya mengakhiri perjalanan pergi pulang dari yogyakarta ke pacitan. ya, 11 januari lagunya bertepatan dengan hari saya pergi dan pulang. untuk lagu yang terputar di sekitar bukit bintang, terima kasih kepada radio sonora yogyakarta. saya tidak meminta tapi mendapatinya cuma-cuma. di bukit bintang, kenangan perjalanan dan perjumpaan dengan sejumlah orang terlintas di benak saya. sambil istirahat menikmati pisang gulung keju hangat dan menatap kota yogyakarta dari ketinggian, saya mengenang pak pak kasenin (59) dan nasir (67). dari dua sosok yang terjumpai di pacitan itu, saya menjumpai keabadian. keabadian itu sebenarnya sudah terlintas di sepanjang jalan dari yogyakarta menuju pacitan yang saya tembus lewat gunung kidul. tumpukan perbukitan yang hijau lantaran musim penghujan indah dipandang. peladang menggarap lahan yang dilimpahi bebatuan untuk penghidupan. dari kejuhan, beberapa perempuan yang umumnya lanjut usianya menggendong rumput gajah atau batang jagung untuk pakan ternak. rintik hujan, tidak menyurutkan langkah mereka. pelepah pisang dipakai untuk melindungi kepala sekadarnya. teguh, tekun, dan setia. saya sebut perjumpaan itu sebagai perjumpaan kebadian karena saya tidak mendapati perubahannya. terakhir saya menuju pacitan lewat yogyakarta tahun 2005, kondisi serupa saya jumpai juga. bukankah untuk hal yang tidak berubah dapat dikatakan abadi? sambil menikmati pemandangan yogyakarta dari ketinggian, saya syukuri perjumpaan saya dengan keteguhan, ketekunan, dan kesetiaan perempuan dengan beban dipunggung mereka. karena lanjut usianya, saya yakin, sudah berpuluh tahun mereka hidup dengan cara serupa. teguh, tekun, dan setia. sampai di pacitan, saya berhenti di taman makam pahlawan nasional bunga bangsa. awalnya memang ingin mengetahui tempat pahlawan terkahir pacitan dimakamkan. cerita soal pahlawan terakhir pacitan itu sudah saya bagikan dalam postingan sebelumnya. namun, sambil bertanya arah jalan, saya berjumpa dengan pak kasenin (59). dengan mata yang awas melihat pergerakan orang, pak kasenin menyapa saya dengan senyum sambil memegang becak warna merahnya. dari perjumpaan singkat itu, saya tahu usia pak kasenin dan berapa lama mengayuh becak untuk memperjuangkan hidupnya. dengan penjelasan sudah belasan tahun mengayuh becak, saya yakin, keabadianlah yang dihidupi pak kasenin. saya bersyukur menjumpai kebadiaan yang diperjuangkan dengan sepenuh tenaga di atas becak pak kaseninin. dari keterangan yang disampaikan kepada saya dengan gembira, saya kemudian menuju desa ploso, pacitan. desa ploso merupakan tempat masa anak-anak dan remaja pak beye yang saat itu dipanggil dengan sebutan si sus. di ploso yang merupakan rumah pakdenya, keabadian juga saya jumpai. tidak ada yang berubah di rumah dengan pendapa warisan itu. bangunannya sama, juga kamar seukuran badan si sus di sisi kanan pendapa. untuk keabadian ini, asya juga bersyukur. kekuasaan dengan segala daya tidak digunakan untuk perubahan yang dipaksakan. kalau tetap mau mencari perubahan yang hadir dalam bungkus keabadian itu, mungkin terletak pada lembar-lembar foto ukuran besar yang dipajang di dalam pendapa. foto-foto sisi manusia pak beye dijejer menyambung tiang-tiang pendapa dari kayu jati tua. perubahan lain tentu saja meja kecil di depan kamar si sus. di atas meja itu tertumpuk empat buku besar berisi nama-nama dan kesan pengunjung. dari sekilas membaca buku-buku itu, hampir semua yang datang terkesima. saya kemudian keluar sejenak untuk menikmati pendapa dari kejauhan. di bawah pohon mangga yang tua usianya, saya mendapatkan bayangan kegembiraan si sus saat remaja bersama teman-temannya di bawah pohon mangga. selain belajar dan mengajari teman-temannya, di bawah pohon mangga itu, si sus dan teman-temannya pasti bermain aneka macam permainan juga. namun, untuk sepak bola, saya tidak yakin. menurut buku sby sang demokrat yang diterbitkan untuk kepentingan kampanye 2004, hal yang menonjol dari si sus adalah sifatnya yang suka mengalah, tidak sombong, dan tidak pendendam. si sus juga tidak suka pada segala bentuk kekerasan atau hal-hal yang bersifat keras. hal ini membuat si sus enggan bermain sepakbola dan kasti. dalam setiap pertandingan sepakbola dan kasti antarsekolah, si sus hanya menjadi suporter. sambil membayangkan anak-anak seusianya bermain sepakbola di bawah pohon mangga, saya membayangkan apa yang dilakukan si sus yang tidak suka dengan segala bentuk kekerasan. karena faktanya pintar dan juara di setiap jenjang pendidikannya, sementara teman-teman seusianya bermain sepakbola, mungkin si sus belajar di kamarnya. puas menjumpai keabadian di desa ploso yang saya syukuri, saya pergi ke desa tremas tempat lahir si sus. dari pacitan, desa tremas sekitar 15 kilomter jaraknya. rumah tempat lahir si sus berjarak sekitar 200 meter dari perguruan islam pondok tremas. rumah itu tidak saya jumpai karena sudah diwakafkan untuk mushala. rumah itu sebelumnya ditinggali kakek dan nenek si sus dari ibunya bu habibah. sambil berteduh di bawah pohon sukun yang tua, saya memandang jauh ke kandang sapi yang menyebarkan aroma. tidak lama kemudian, saya dihampiri pak nasir (67) setelah meletakkan segerobak rumput gajah untuk dua ekor sapinya. setelah berganti pakaian, pak nasir menerima saya di teras rumahnya. rumah pak nansir yang berada persis di depan mushala menjadi saksi keabadian bagi saya. rumah itu tidak berubah belasan tahun lamanya. namun, seperti sudah saya duga, pak nasir tetap bersyukur untuknya. selama perbincangan dengan pak nasir disuguhi teh panas yang dididihkan dengan kayu bakar, saya seperti menjumpai pak mayar yang sudah meninggal di cikeas udik. keteguhan, ketekunan, dan kesetiaan mereka serupa. tidak hanya untuk hidup yang mereka perjuangkan setiap harinya, tetapi juga untuk pemimpin yang mereka pilih dan bela. meskipun tidak segera mendapati perubahan seperti dijanjikan, bukan kutukan yang keluar dari mulut mereka. harapan mereka masih panjang. pemakluman mereka juga terbentang. karenanya, dukungan penuh tetap diberikan dengan menarik nafas dalam akan hadirnya harapan. untuk perempuan tua penggendong rumput, pak kasenin, pak nasir, dan juga pak mayar syukur saya ucapkan, dari sosok mereka yang teguh, tekun, dan setia, saya menjumpai keabadian. soal akan hadirnya perubahan, kita sama-sama tarik nafas memberi hidup untuk harapan. salam abadi. [caption id="attachment_84621" align="aligncenter" width="600" caption="pak nasir berteduh di bawah pohon sukun tua setelah mencari rumput untuk sapi peliharaannya. rumah tempat pak beye atau si sus lahir yang telah jadi mushala ditatapnya. (2011.wisnunugroho)"][/caption] [caption id="attachment_84620" align="aligncenter" width="600" caption="rumah berpendapa di desa ploso, pacitan tempat pak beye yang dipanggil si sus tumbuh sebagai remaja. keabadian hadir di rumah itu hingga kini. syukur atasnya. (2011.wisnunugroho)"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H