Lihat ke Halaman Asli

Wisnu Nugroho

TERVERIFIKASI

Harus Keluar

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12948347121907329867

itulah yang menjadi semangat hampir semua orang pacitan. ya, harus keluar daerah seluas 1.400-an kilometer persegi untuk bisa menjadi "orang". pacitan dengan kondisi alamnya dirasa tidak mungkin menjadikan "orang". pacitan sendiri seperti ditulis dalam babad pacitan diyakini berarti camilan (makanan kecil yang tidak mengenyangkan). kalau mau kenyang, maka harus mencari di luar camilan dengan keluar pacitan. itulah juga yang menjadi semangat pak beye saat masih dipanggil si sus oleh orang-orang di kampungnya di pacitan. dengan bekal ilmu yang didapat selama 12 tahun sekolah di pacitan, sus meninggalkan pacitan akhir tahun 1960-an untuk menjemput mimpi menjadi orang. menjadi orang dalam diri si sus kemudian diterjemahkan menjadi tentara. tidak sembarang tentara tentunya tetapi perwira tentara. karena itu, terlambat masuk akademi militer setelah lepas dari sma, tidak menyurutkan niat si sus untuk menjadi perwira tentara. dari surabaya dan malang, niat menjadi orang itu disiapkan. tahun 1970, si sus diterima di akademi militer. akabri waktu itu namanya. kenapa orang pacitan harus keluar? dalam perjalanan sehari mengelilingi jalan-jalan di pacitan, tanpa konfirmasi  pun, jawaban itu saya dapat dengan meyakinkan. perjumpaan saya dengan peladang dan petani bernama pak nasir (67), tukang becak di depan makam bernama kasenin (59), dan tukang batu di tepi tebing bernama triyanto (37) membuat saya menarik nafas dalam. dalam diri tiga pribadi yang tekun bekerja dengan peluh yang membasuhi tubuh tanpa pernah mengeluh itu, gambaran "orang" memang tidak terlalu nyata hadir. apalagi gambaran "orang" seperti digambarkan dalam iklan-iklan yang membuat sebagian dari kita harus mengikuti. di usia tuanya, pak nasir dan pak kasenin harus tetap bekerja keras untuk hidup yang harus dipelihara. jaminan hari tua dan perlindungan negara tidak mereka tuntut. bagi mereka, negara sudah terlalu banyak urusannya. mereka menerima saja kenyataan tidak hadirnya negara dalam hidup mereka secara nyata. tiba-tiba saja, mendapati keduanya, saya teringat dengan pak mayar. bayangan kegigihan, ketekunan, keteguhan, dan kesetiaan pak mayar seperti hadir pada sosok pak nasir dan pak kasenin. kepada mereka, saya duduk berbincang. keramahan mereka meredakan lelah saya yang belum seberapa dibandingkan lelah pak nasir dan pak kasenin. lebih mengharukan, di tengah keterbatasan itu, pak nasir menyuguhi saya teh hangat. putrinya yang sudah memberinya dua orang cucu keluar rumah dengan teh hangat beraroma kayu bakar itu. tanpa saya tanya, saya tahu teh hangat itu dibuat dengan air panas yang dididihkan dengan kayu. nikmat rasanya. ditambah kehangatan pak nasir yang bercerita tentang cucunya yang gemar bermain sepakbola. kepada pak nasir yang masih mengenakan kaos kampanye pilpres 2009, saya bertanya tentang apa yang dicarinya saat ke ladang tadi. pak nasir bercerita mencari pakan untuk dua ekor sapi. selain mencari pakan untuk dua ekor sapi, pak nasir juga menanam padi. atas padi yang ditanamnya, pak nasir bersyukur karena memang tidak banyak lahan di pacitan yang dibisa ditanami padi. "saya menanam di samping pondok tremas," ujar pak nasir. pondok tremas yang dimaksud adalah  pondok pesantren yang berdiri di dekat tempat lahir anak laki-laki bernama susilo bambang yudhoyono yang dipanggil si sus dan kemudian dipanggil pak beye. tempat lahir itu saat ini menjadi mushala karena sudah ditinggal semua penghuninya. saat saya tiba tengah hari di sana, mushala sepi. soal mushala yang sepi, pasti bukan karena orang pacitan keluar semua. selama duduk di bawah pohon sukun di depan rumah tempat pak beye lahir, saya mendapati banyak orang lalu lalang juga. salah satu sebab sepinya mungkin karena tidak jauh dari mushala itu ada masjid pondok pesantren tremas. pak beye datang meresmikan masjid itu saat hujan di bulan aprl 2005. peresmian itu merupakan kesempatan pertama pak beye pulang kampung setelah menjadi presiden. di pondok pesantren itu, oleh kiai sepuh yang berpengaruh, saat masih balita, si sus, nama kecil pak beye dilihat akan menjadi petinggi. saat itu, bayangan keluarganya, si sus akan menjadi kepala desa yang dalam ukuran warga pacitan sudah sangat tinggi. untungnya, si sus keluar pacitan. dengan keluar pacitan, potensi yang dilihat kiai akan jadi petinggi menjadi optimal. sejak 2004, pak beye menjadi petinggi negeri. jabatannya secara resmi adalah kepala negara dan kepala pemerintahan dengan sebutan presiden indonesia. untuk orang sederhana seperti pak nasir dan pak  kasenin, pak beye menjadi kepala desa bernama indonesia. salam kades eh, salam buat pak kades. salam keluar. [caption id="attachment_82838" align="aligncenter" width="550" caption="pak nasir dengan kaos kebanggaan untuk pergi ke ladang pulang membawa rumput untuk pakan dua sapinya di kandang. (2011.wisnunugroho)"][/caption] [caption id="attachment_82840" align="aligncenter" width="427" caption="pak nasir yang tekun, teguh, dan setia menjaga hidupnya dengan sederhana di kampungnya di tremas, pacitan. senang menjumpainya di sana. (2011.wisnunugroho)"]

12948350271755000030

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline