pikiran saya melayang. hari-hari kami bersama-sama di istana seperti terputar begitu saja. tidak kuat saya menahannya. bahkan dengan mengabaikannya, pikiran saya justru terus menerus membawa saya ke masa lalu. ya, saat kami bersama-sama di istana. mas yuniawan w nugroho. teman bercengkerama dan berbagi gelisah di tangga istana menunggu rapat-rapat panjang yang kerap tanpa hasil apa-apa. bersama mas yuniawan yang saat itu masih menjadi wartawan koran sore suara pembaruan, kami menyiapkan sebuah buku. sayangnya, tidak lama setelah rencana itu kami siapkan, mas yuniawan harus meninggalkan istana. kontak masih ada, tetapi intensitas yang tidak lagi sekerap sebelumnya membuat rencana sedikit banyak tertunda. tidak lama kemudian saya mendengar mas yuniawan pindah pekerjaan beberapa kali dan sempat kembali ke ambarawa untuk bertani sesuai cita-citanya. terakhir saya dikontak mas yuniawan tentang rencananya kembali menjadi wartawan di vivanews yang sebelumnya sempat disinggahinya. kontak terakhir saya dengan mas yuniawan saat hendak launching pak beye dan istananya. sebelum saya ke jakarta, mas yuniawan menyapa di ym saya. sambil bercanda, mas yuniawan meningatkan rencana membuat buku yang belum juga terlaksana. saya minta maaf karena tidak menyelesaikannya. kemudian, mas yuniawan meminta saya mengirimkan buku pak beye dan istananya ke jakarta. saya masih menyimpan alamat tempat buku pak beye dan istananya untuk mas yuniawan dikirimkan yaitu di jatirahayu, bekasi. saat di jakarta, mas yuniawan yang meninggalkan keluarganya di ambarawa tinggal di bekasi. saat buku terkirim, mas yuniawan mengabari saya. saya senang karena mas yuniawan memberi apresiasi dan tetap bertanya tentang buku yang sebelumnya sudah lebih dahulu direncanakan. saya minta maaf kepada mas yuniawan karena rencana tidak berjalan. selain menjadi wartawan politik yang handal dan luas pergaulan dan bercita-cita menjadi petani, mas yuniawan kerap menerbitkan buku. salah satu buku karyanya yang diberi kata pengantar pak bondan maknyus adalah politik indonesia di mata wartawan politik. sambil terus mengenang mas yuniawan yang kerap berbagi bekal makan siang dengan saya di istana, saya hendak bagikan foto saat kami bersama-sama. saat itu, mas yuniawan masih bertugas di istana dan bersama-sama dengan sejumlah wartawan istana meliput kegiatan pak beye di pacitan. sambil mengenangnya, saya masih kerap tidak percaya. di tengah ketidakpercayaan, saya tundukkan kepala berdoa untuk jalan lapang yang diimpikannya seperti tertulis dalam status facebook mas yuniawan sehari sebelum ajal menjemputnya: sia-sialah kamu bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah--sebab Ia memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur. . selamat tidur panjang mas yuniawan dan bertemu yang tercinta. kabari kami kalau yang tercinta itu memang ada. mas yuniawan pasti masih ingat keragu-raguan kita tentang keberadaannya di tangga istana. [caption id="attachment_304876" align="alignnone" width="500" caption="mas yuniawan (paling kiri) bersama wartawan istana antara lain imel, muchlis, uti, teguh, mirza, dan triyono di kampung halaman pak beye, pacitan. (2006.wisnunugroho)"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H