Lihat ke Halaman Asli

Wisnu Nugroho

TERVERIFIKASI

Pak Beye Lima Tahun Lalu

Diperbarui: 26 Juni 2015   20:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_2454" align="alignnone" width="500" caption="pak beye dan pak kalla mengandeng pak hidayat dan pak salim di kantor dpp pks untuk mendapat dukungan di putaran kedua, 2004 (wisnunugroho.kompasiana.com)"][/caption] tidak hanya saya. anda sekalian mungkin juga berkata sinis menyaksikan dan mendengar apa yang dilakukan para elite politik pasca pecontrengan dan pengumuman hasil hitung cepat sejumlah lembaga. setelah suara rakyat didapat, berapa pun jumlahnya, gerilya atau bolak-balik mengais sisa kuasa dibungkus silaturahmi yang dianjurkan agama dilakukan di mana saja, kapan saja, dan kalau bisa dengan siapa saja serta apa saja. ideologi? lupa kan saja. untuk sebuah hasrat berkuasa, melupakan ideologi adalah hal yang sah dan biasa saja kata mereka yang haus kuasa. lagi pula, ideologi sudah lama mati di negeri ini. saya melihat kerandanya diusung dan tidak melihat seorang pun menangisi. saya yang hendak menangis melihatnya jadi berpikir kembali. jangan-jangan saya yang gila karena berbeda. saya katakan melupakan ideologi itu hal biasa karena apa yang terjadi akhir-akhir ini telah terjadi juga lima tahun yang lalu. belum lama. untuk kebanyakan dari kita, ingatan itu belum hilang dari benak kita. aktornya ada yang sama ada yang berbeda. tetapi yang pasti, para penantang lebih agesif dan atraktif gerakannya. sementara yang hendak mempertahankan kuasa lebih kalem tentu saja. mungkin memang sudah seperti itu kodratnya. untuk menyegarkan ingatan anda, saya tampilkan potongan agresivitas penantang yang terjadi lima tahun lalu. aktor yang berperan sebangai penantang saat itu adalah pak beye dan pak kalla. yang hendak mempertahankan kuasa adalah ibu mega yang memilih berpasangan dengan pak hasyim muzadi. intensitas serangan lima tahun lalu dibandingkan saat ini tentu berbeda. kompleksitas persoalan dan tumpukan dendam yang belum terbalaskan menambah tinggi intensitas itu. meskipun berbeda intensitasnya, apa yang dilakukan ya sama saja. yang berbeda mungkin intensitas rasa sinis kita.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline