Lihat ke Halaman Asli

Wisnu AJ

TERVERIFIKASI

Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Orang-orang di Kebun Sawit (15)

Diperbarui: 17 Agustus 2017   08:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sebelumnya :

            Nafisah megap megap, dia siuman dari pingsannya, setelah Gatot menyiramkan air ketubuhnya berkali kali. Luka luka bekas cambokan sang mandor ditubuhnya terasa perih, namun bila disbanding dengan rasa perih dihatinya akibat diperlakukan seperti itu, perih luka ditubuhnya tidaklah seberapa sakitnya. Nafisah menyimpan rasa perih dihatinya itu, biarlah rasa perih dihati ini tumbuh subur menjadi dendam, dimana suatu saat dendam itu akan terbalaskan. Guman Nafisah dalam hatinya.

Kemudian :

            Nasib para gundik tidak selamanya seperti air dalam bejana, tenang tidak bergelombang, tapi ada kalanya nasib seorang gundik seperti air dilautan yang penuh dengan riak riak dan gelombang. Terkadang riak riak kecil itu menjadi gelombang, dan terkadang pula gelombang itu menjadi ombak yang besar, lalu mengombang ambingkan segala yang ada dipermukaannya.  Belum lagi angin topan yang datang melanda. Seperti itulah yang dirasakan oleh Nafisah.

            Dia ingat betul, ketika pertama kali mandor besar Kartijo mengambil dirinya sebagai gundik, semua berjalan sesuai dengan yang diinginkan oleh Nafisah dan keluarganya, walaupun sesungguhnya hati kecilnya menolak menjalani kehidupan sebagai gundik. Tapi apa yang bisa untuk dilakukannya, dia adalah anak seorang kuli diperkebunan yang dibentengi oleh kekuasaan.

            Walaupun dalam acara acara resmi dipekerbunan, Nafisah tidak turut untuk mendampingi sang mandor besar Kartijo, karena statusnya sebagai gundik. Isteri sah mandor besar Kartijolah yang sering mendampingi suaminya jika ada acara acara resmi diperkebunan. Akan tetapi jika mandor besar berpergian keluar kota, Nafisah lah yang dibawa oleh mandor besar Kartijo.

            Walaupun demikian isteri isteri para petinggi dan mandor perkebunan yang suaminya memiliki gundik bisa menerima perlakuan sang suami mereka. Dan tidak semua pula para petinggi dan mandor perkebunan yang memiliki gundik. Serta tidak semua isteri isteri para petinggi dan mandor diperkebunan, yang bisa menerima perlakukan suaminya seperti itu.

            Memang sejarah tidak menuliskan, tentang kemanutan para isteri isteri petinggi dan mandor diperkebunan terhadap suami suami mereka. Tapi seperti itulah kenyataanya. Hidup mereka berkecukupan, dan mempunyai anak dari hasil perkawinan yang sah. Namun mereka tidak dapat untuk menguasai suaminya secara keseluruhan. Kemanutan para wanita wanita yang menjadi isteri para petinggi dan mandor perkebunan umumnya dari kalangan wanita Jawa. Perceraian dikalangan wanita Jawa adalah suatu hal yang tabu. Mungkin karena itu pulalah mereka bisa menerima perlakuan suaminya terhadap mereka.

            Mereka adalah ratu bagi anak anaknya, tapi bukan bagi suaminya, mereka dihormati oleh anak anaknya, mereka dihormati oleh para kuli tapi tidak suaminya. Itulah kehidupan wanita wanita tangguh suku jawa didalam kehidupan perkebunan. Yang dapat menyimpan perasaan, ketika cinta dan kasih sayang suaminya terbagi dua, mereka dapat mengubur dalam dalam perasaan yang menyakitkan hatinya ketika suami mereka menggandeng wanita yang kemudian dijadikan gundik oleh suami mereka. Sampai kapan peristiwa yang mengiris dada, peristiwa homo homo nilupus, yang layaknya seperti hukum rimba, siapa kuat dia yang berkuasa diperkebuna ini berakhir?, mungkin hanya waktulah yang bisa untuk menjawabnya.

            " Gatot ", kembali suara mandor besar Kartijo terdengar.

            " Ya tuan "

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline