Lihat ke Halaman Asli

Wisnu AJ

TERVERIFIKASI

Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

[TMN 100 H] Senandung Cinta dari Selat Melaka "68"

Diperbarui: 21 Mei 2016   15:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber fhoto/hr,mdn bisnis.

Sebelumnya :

Jika kita tidak dipertemukan lagi, aku rela untuk hidup sebagai biksu, mengabdikan diriku kepada Dewa, aku akan menekuni kitab kitab suci para Dewa. Aku tidak akan pernah untuk menikah, jika bukan denganmu Zis. Betapa hati ini telah kau curi. Tapi kini aku tidak tahu engkau telah berada dimana. Mengenang hubungannya dengan Azis airmatanyapun berceceran. Berulang kali dia mengahapus air mata itu, namun air mata itu bagaikan tidak pernah kering.

Kemudian :

Jam enam pagi, mobil truck yang membawa ikan dari Sinaboi ke Medan, dimana Azis menumpang didalamnya memasuki terminal pusat pasar Sambu. Azis turun dari mobil truck itu, dilihatnya kesibukan diterminal sambu itu sudah ramai, orang hilir mudik untuk pergi dan datang dengan menaiki mobil angkutan kota. Dikota Medan ini akutan bus kota disebut dengan Sudaco. Penumpangnya hanya berjumlah dua puluh orang. Masing masing bus angkutan kota ini mempunyai routenya.

Setelah mengucapkan terimaksih kepada supir truck yang ditumpanginya dari Sinaboi ke Medan, Azis melangkahkan kakinya kesalah satu warung yang menjual makanan. Dia duduk didalam warung itu memesan nasi dan kopi. Dari dalam warung ia melihat situasi terminal Sambu itu. Orang orang yang melakukan kegiatan diterminal sambu ini terdiri dari berbagai etnis suku bangsa.

Suara kernet, kondektur dan supir angkot , terdengar nyaring memanggil mangil penumpangnya, mereka menyebut beberapa nama tempat route yang dilaluinya, jelas nama nama itu terasa asing baginya, karena dalam hidupnya baru kali inilah dia menginjakkan kakinya di Kota Medan, kota metropolitan ketiga di Indonesia, setelah Jakarta dan Surabaya. Ditempat yang serba komplik inilah dia akan mencari kehidupan dan mempertahankan hidupnya.

Lama dia berdiri diemperan toko yang ada diterminal Sambu itu, dia tidak tahu kemana dia melangkah, karena kota ini asing baginya. Diperhatikannya para kernet,  supir dan kondektur angkot memanggil manggil penompangnya, terkadang dilihatnya terjadi pertengkaran kecil antara kernet, supir dan kondektur angkot yang satu dengan yang lainnya, walaupun pertengkaran itu tidak diakhiri dengan saling baku hantam.

Belum lagi pertengkaran antara kernet, kondektur dan supir angkot dengan calon penumpangnya. Karena para kernet, supir dan kondektur angkot ini memaksa para calon penumpangnya untuk naik keangkotnya.

Disisi lain dia melihat adanya para pengunjung diterminal Sambu itu tiba tiba saja menangis, karena kehilangan uangnya yang dicopet oleh orang. Namun tidak satupun diantara orang orang yang ada diterminal itu , mau menolong orang orang yang kecopetan uang di terminal Sambu ini. Mereka hanya melihat sejenak apa yang terjadi, lalu pergi meninggalkan orang yang kecopetan itu begitu saja. Kehidupan keras  diterminal Sambu ini mulai tergambar dibenak Azis .

“ Hai, Ucok mau kemana kau, keterminal Amplas, Padang Bulan, Pinang Baris, biar diantar?”. Seseorang menyapanya dengan logat Batak yang kental, Azis melihat kearah orang yang menegurnya itu. Laki laki yang usuianya sudah hampir enam puluh tahun, tapi tubuhnya masih nampak kekar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline