[caption caption="sumber fhoto/even my deary"][/caption]Dear Diary.....
Tak pernah kubayangkan, jika akhirnya hubunganku dengan Yusnah, harus berakhir, karena dia dinikahkan oleh orang tuanya dengan lelaki lain. Pada hal hubunganku dengannya sejak kami masih duduk dibangku SMP, kemudian berlanjut ketika kami di Sekolah Lanjutan Atas (SLTA). Waktu itu aku memilih masuk Sekolah Menegah Atas (SMA), sedangkan dia memasuki Sekolah Pendidikan Guru (SPG).
Tamat SMA dan dia tamat SPG, cinta kami tak ikut tamat, ia mengikuti perjalanan kami. Waktu itu aku masuk kuliah di USU, sementara dia melanjutkan pendidikan di IKIP yang sekarang bersalin nama menjadi Unimed. Walaupun satu kota sama sama dikota Medan, tapi lain kampus. Hubungan kami tetap terjalin dengan baiknya.
Wisudapun datang menghampiri kami. Masa masa indah dikapuspun tertinggal jauh, kami kembali pulang kekampung halaman. Sama sama di kota Tanjungbalai Asahan. Ia menjadi guru honor disalah satu sekolah swasta, sementara aku masih saja melanglang buana untuk mencari pekerjaan. Sesuai dengan disiplin ilmu yang kumiliki tekhnik cipil lanskap (pertamanan) sulit untuk mendapatkan pekerjaan dikota kecil tempat aku tinggal.
Namun bagi dirinya hal itu tak jadi masalah walaupun aku belum mendapatkan pekerjaan yang tetap. Terkadang ada order yang harus kukerjakan untuk membuatkan taman dihalaman rumah, mapun dikantor kantor pemerintah dan swasta. Jika aku telah menerima upah dari hasil pekerjaanku, aku membawa dia untuk sekedar makan minum di restaurant kecil yang ada dikota kami tinggal.
Suatu hari pulang dari mengajar dia datang kerumahku, lalu ia bercerita kalau dia mau dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan lelaki pilahan mereka. Walaupun lelaki itu adalah pamili dari ayahnya. Namun semula ia menolak untuk dijodohkan, tapi akhirnya ia tak mampu untuk menolak perjodohan itu.
Aku maklum kenapa dia tak berani untuk menolak perjodohan yang dipaksakan oleh orang tuanya itu?, karena dia adalah seorang wanita, yang hanya memiliki air mata. Dia mengajakku untuk menikah dengan cara lari. Tapi waktu itu aku menolaknya, kupinta kepadanya agar kami menikah dengan cara baik baik. Dan kukatakan kepadanya agar keluargu datang untuk meminangnya, tapi itupun ditolaknya. Entah apa sebabnya aku sendiripun tak tahu.
Ditengah hati yang risau, gundah dan gulana, aku tak pernah lagi untuk bertemu dengannya. Beberapa kali kukirim pesan via temannya, namun tak pernah berbalas. Hanya saja kata teman nya itu ia dilarang orang tuanya untuk keluar rumah. Makanya aku tak pernah lagi melihatnya mengajar di sekolah swasta itu. Segala daya upaya kuusahakan untuk dapat menghubunginya, namun usaha yang kulakukan kandas bagaikan perahu patah kemudi.
Sore menjelang malam, seseorang datang kerumahku mengantarkan sepucuk surat undangan, hatiku berdetak, siapa gerangan yang akan menikah. Kutanya sipengantar surat undangan itu, ia membisu seribu bahasa. Hanya jawabnya bacalah, ia pun berlalu bagaikan mimpi disiang bolong aku berdiri melihat kepergiannya, namun surat undangan tetap tergenggam ditangan.
Bagaikan disambar gledek aku membaca surat undangan itu. Kulihat poto sidia dengan gaun pengantin warna putih berdampingan dengan seorang laki laki mengenakan pakaian jas warna hitam. Sehitam jas yang dipakainya itulah pemandanganku saat itu. Bagaikan patahnya ranting tempat ku bergantung, bagaikan runtuh bumi tempatku berpijak. Salahkah aku ketika dia mengajak aku untuk lari nikah? Atau salahkah dia menolak ketika kutawarkan untuk meminang dirinya?. Siapakah yang salah diantara kami sebenarnya.
Hari haripun berlalu, pesta pernikahannya itupun hanya tinggal menghitung hari. Hadirkah aku dalam pestanya, jika aku hadir, sanggupkah aku melihat kemesraanya saat bersanding dipelaminan?. Jika aku tak hadir apakah aku seorang pengecut. Berhari hari pula perasaan itu berperang dalam hatiku.