Ditepian Sungai Rokan
Ditepian sungai Rokan kita ukir sejarah
dari batu, dari pasir, dari segala yang ada
cerita masa lalu
mengalir bagaikan darah
dari nadi nadi kehidupan
Entah zaman yang sudah berobah
atau kita yang sudah latah
termakan usia yang semakin papa
menggoreskan luka diatas asa
wajah wajah kita yang nampak
dicermin kaca yang retak
Airmu mengalir bagaikan jalan yang tidak ada ujung
menerpa samudra diluasnya padang pasir
kita ukir cerita usang kepada anak cucu
yang entah kapan lahirnya
Kau luapkan amarahmu
air mata tangismu merendam huma
murkamu menjelma menjadi prahara
yang menggoreskan luka diatas duka
dari tahun ketahun tak pernah lunas
Tapi engkau bisa juga tenang
ketika emosi tak mengombak hati
ketika ambisi tak berujung iri
ketika amarah tak berlapis dengki
airmu tenang tempat becermin dimasa depan
Bagan Siapi Api 2014
Untuk Yang Pertama
Ini kali pertama kita saling kenal
diantara serpihan angin selat Malaka
kita tarah gelombang
untuk kita jadikan biduk berlayar kertas
mengharungi samudra api
Ini kali pertama kita bertemu
di lorong lorong kehidupan
kau tawarkan segelas madu
diantara ribuan gelas kristal berisi racun
memantulkan cahaya wajah wajah kita yang kusam
dalam tarikan nafas yang penuh sesak
karena houk mengutuk nasib
Ini kali pertama kita jalan bersama
diantara ilalang dan pematang sawah
kau buka cerita usang yang mengingatkan aku pada sesuatu
diantara dengus kerbau dan suara tajak yang menggodam
hati penuh tanya
belum sampai juga kita ke ujung jalan
dalam pemikiran yang berbeda
betapa sebak rasa di dada
dipersimpangan jalan kau berlalu begitu saja
membuat aku jadi kecewa.
Bagan Siapi Api 2014
Membaca Takdir
Kita berdiri dalam syaf yang berbeda
pada sepenggal waktu yang sama
kita baca takdir di garis tangan kehidupan
pada kaki langit direntang cahaya biang lala
Kitapun bergegas
mengejar sinar mata hari yang tinggal sepenggal
diantara lorong lorong waktu yang mengantarkan kita menjadi tuna
diantara tangis yang tidak dapat kita bedakan
diantara semua yang asing membuat kita menjadi terasing
Kitapun bersujud
diantara air mata dan hujan yang turun rintik rintik
memaksa kita berhenti dan menepi
pada lorong lorong gelap dan sepi
merenungi diri
untuk membaca takdir dari ilahi.
Bagan Siapi Api 2014
Bukalah Pintumu
Andai kata kau biarkan aku masuk
dari pintu manapun kan kutembus
walau dari pintumu yang paling lapuk
Aku bukanlah pengembara yang syupi
setia membaca ayat ayatmu diluasnya padang kehidupan
tapi aku pernah meraut kalam penunjuk ilahi dari ayatmu yang suci
di saat tubuh menggigil, malaria datang bertengger
aku teringat padamu
entah kenapa aku ingin berehat
walau tidur diatas lumpur yang bernoda
sekalipun jasad masih bisa menghirup udara bebas
diantara deraian debu pada musim kemarau
diantara sepenggal pesan yang membuat cerita menjadi usang
hati yang kembara
diperjalanan waktu yang menyita
Bertahtalah maut
bukalah pintumu
biarkan aku masuk
dari pintumu yang paling buruk.
Bagan Siapi Api 2014
Sengkarut Memangut Luka
Sengkarut yang memangut disisi luka
Kita berdiri disana
mengukir karang diganasnya ombak
menanam pohon ditali arusnya laut
ilusi hampa menghampar sukma
sajak kutaja luka diatas bara
kita berunding diatas meja yang retak
tampa arah, tampa kata
tak lagi bermakna
penaku kaku bak menari diatas duri
tapi dawatnya tercecer kemana mana
Kealam baka, sampai kesorga
Memberi warna.
Bagan Siapi Api 2014
Jendela
Lewat jendela ini aku menatap cakrawala
melahap segala yang berlalu lewat mata
pada dinginnya subuh
yang tak pernah melihat
segala yang ada
segala musnah pupus hilang bentuk
digaris bianglala
pada kaki langit yang tidak pernah bersenggama mesra ke bumi
pada helaian daun bambu
segalanya tertulis samar
tanpa makna
meraba dalam sabda
gelap pada hujan yang rintik
kitapun menepi
jendela kita tutup
semuanya jadi gulita
semuanyapun tanpa arti
Bagan Siapi Api 2014
Dendam
Kau hunus pedang pada sebuah harapan
kau kubur dengki pada pusara dendam
kau tabur kembang pertikaian diatas tanah masa depan
pada nisan yang tertulis labirin kedamaian
sukmamu terpuaskan nafsu
sengkarut diwajahmu tak dapat menipu
segala yang melihat
takdir ditelapak tanganmu kaualiri dengan sumpah serapah
dalam lisan ditabir bibirmu
dendammu inpas sudah
tunai terbayar dalam asa disegala yang ada
pada jiwamu yang rapuh
masihkan kau semayamkan dendam’
Bagan Siapi Api 2014
Ilustrasi/Fhoto Fixabay.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H