Analisis ini saya buat karena atas dasar keprihatinan saya terhadap berbagai konflik agraria di tanah air tercinta ini,Indonesia.Dewasa ini,melalui berbagai media kita sering menyaksikan konflik yang terjadi di berbagai daerah yang diakibatkan masalah kepemilikan tanah.Bahkan yang lebih memprihatinkan,tak jarang konflik ini berujung pada kasus pelanggaran HAM.Mulai dari kasus Mesuji di Lampung,Kasus Bima di NTB Dan mungkin banyak lagi kasus-kasus mengenai konflik agraria yang mungkin kurang terekspos.Pertama,pertanyaan yang mendasar dalam benak saya yaitu mengapa terjadi konflik agraria....????
Dari hasil literatur yang saya baca,negara merupakan faktor penting dalam penyebab konflik agraria.statment tersebut di dukung oleh beberapa teori,diantaranya teori Marxis,teori Pluralisme Hukum dan Teori Kebijakan Publik.Teori Markis menyatakan bahwa konflik agraria terjadi akibat perkembangan ekonomi kapitalis yang menyebabkan penduduk terlempar dari tanahnya.Konflik agraria dilihat sebagai perlawanan penduduk yang tidak punya tanah atau yang tanahnya dirampas oleh kapitalis.Sedangkan Teori Plularisme Hukum memandang konflik agraria terjadi akibat adanya lebih dari satu hukum yang kontradiktif yang dipakai oleh beberapa pihak,seperti hukum adat dan hukum negara.Hukum negara akan memberikan kapada negara kekuatan untuk mendelegitimasi hak-hak komunitas lokal.Sementara komunitas lokal menggunakan kekuatan hukum adat untuk melegitimasikan hak-hak mereka atas sebidang tanah.Teori kebijakan Publik,yang juga banyak dipakai.Menegaskan bahwa konflik agraria terjadi akibat adanya kebijakan tertentu dari negara,seperti pembangunan dan revolusi hijau.
terlepas dari teori mana yang dipakai di negara ini dlam memandang konflik agraria yang terjadi, Saya sebenarnya merasa kurang pas dengan istilah “konflik agraria”. Istilah ini cenderung mengasumsikan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam “konflik agraria” memiliki basis legal yang sama. Sebagaimana kita tahu, yang dimaksud dengan konflik atau sengketa agraria adalah adanya “pertumbukkan klaim atas tanah” atau adanya berbagai–dua atau lebih–klaim terhadap satu obyek hukum yang bernama tanah atau sumber-sumber agraria.
Kita kerap menggunakan istilah “Konflik agraria” untuk menjelaskan fenomena ketika segelintir orang (yang sebenarnya menguasai jutaan hektar lahan) merebut secuil tanah yang dimiliki jutaan petani miskin, masyarakat adat, atau masyarakat miskin pedesaan lainnya. Dengan kondisi itu, inti dari konflik agraria adalah adanya perampasan terhadap manfaat yang dihasilkan jutaan petani miskin, masyarakat adat, dan masyarakat miskin pedesaan dari secuil tanah yang dimiliki atau digarap. Kenapa kita tidak to the point, dari pada kita menggunakan “konflik agraria” yang terkesan netral (dan kurang sensitif terhadap dimensi keadilan masyarakat), lebih baik kita gunakan istilah yang lebih lugas: “perampasan tanah”.Saya juga berharap Masalah agraria hendaknya tidak disimak semata-mata urusan tanah atau (lebih sempit lagi) masalah kepemilikan atas tanah. Masalah agraria adalah masalah tentang bagaimana distribusi manfaat sosial ekonomi atas sumber daya agraria secara adil. Karenanya, mungkin sedikit berbeda dengan beberapa teman yang memberikan pengertian konflik agraria sebagai adanya , saya lebih condong melihat konflik agraria sebagai adanya pola distribusi manfaat yang tidak adil atas sumber-sumber daya agraria.
Poin yang hendak saya tekankan di sini, penyelesaian akar permasalahan agraria tidak cukup dengan hanya pendekatan legal formal melalui redistribusi sertifikat hak atas tanah. Penyelesaian masalah akibat perampasan tanah tidak cukup dengan sekadar “tanah ganti tanah”. Sebab, di atas tanah yang selama ini didiami, ditinggali, atau digarap dan dijadikan ladang pertanian, terkandung nilai sosial yang menghidupi orang-orang yang berdiam di atasnya.Akhir kata,saya berharap kepada semua stekholder bidang pertanian khususnya kepada pemerintan sebagai pengambil kebijakan agar segera melakukan reformasi di bidang agraria (reformasi agraria) yang sudah lama digadang-gadang,agar tidak terjadi lagi konflik atau perampasan tanah yang berujung pada perampasan hak dasar manusia,yaitu hak untuk hidup atau jika deperjelas yaitu pelanggaran HAM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H