Lihat ke Halaman Asli

Wiska Wiska

Guru di SMP Negeri 3 Togean

Koneksi Antara Pemikiran KHD, Peran dan Visi Guru Penggerak Serta Budaya Positif

Diperbarui: 24 Oktober 2022   13:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Guru menjadi pilar utama yang menggerakkan dan melanggengkan budaya positif di sekolah. Dalam hal ini, guru harus menjadi teladan bagi peserta didik dalam menerapkan budaya positif. Untuk membentuk budaya positif, pihak sekolah secara bersama-sama dengan peserta didik menyepakati keyakinan kelas atau sekolah yang harus dipatuhi bersama. Bukan peraturan sekolah. Peraturan sekolah terkesan mengikat peserta didik menjadi orang yang berbuat baik di lingkungan sekolah saja. Namun, apabila "peraturan" diubah menjadi "keyakinan" perlahan mengubah motivasi peserta didik dari yang melakukan keyakinan tersebut hanya untuk menghindari hukuman atau mungkin ingin mendapatkan penghargaan menjadi motivasi intrinsik.

Akhir dari membentuk budaya positif yaitu menciptakan disiplin positif di diri peserta didik. Walaupun terkadang dalam prosesnya, peserta didik tetap saja melakukan pelanggaran baik tidak disengaja atau bahkan kebutuhan dasarnya yang tidak terpenuhi. Peran guru disini sangatlah besar. Guru wajib bersikap dengan bijak membangun kepribadian mereka dengan cara yang baik. Guru tidak boleh membiarkan peserta didik merasakan identitas gagal dalam proses pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Dalam situasi ini, posisi kontrol guru yang baik bagi peserta didik yaitu teman atau manajer. Memposisikan diri sebagai teman membantu mereka mengenali kebutuhan dasar mereka dan mereka merasa dipahami dengan kondisi atau kendala yang mereka hadapi. Posisi kontrol manajer menerapkan segitiga restitusi dimana guru memberikan banyak pertanyaan dan tidak menggunakan nada tinggi atau kasar. Langkah-langkah penerapan segitiga restitusi di antaranya; menstabilkan identitas, memvalidkan perbuatan, dan menanyakan keyakinan kelas atau sekolah.

Seperti yang kita tahu bersama bahwa pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara yaitu menuntun kodrat peserta didik agar mereka menjadi pribadi yang selamat dan bahagia, maka diperlukan peran guru penggerak yang bukan hanya sekedar mengajar dan mendidik. Menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks, seorang guru penggerak harus mampu melakukan beberapa aksi di sekolah di antaranya menjadi pemimpin pembelajaran dan coach bagi rekan guru lainnya, mendorong kolaborasi, mewujudkan kepemimpinan peserta didik, serta menggerakan komunitas praktisi. Apabila guru telah mampu mempraktikkan perannya di sekolah, maka visinya bagi kemajuan sekolah akan terejewantahkan. Visi merupakan panduan guru yang menjadi gambaran tujuan dan cita-cita pendidikan Indonesia. Visi juga memiliki sasaran yaitu perubahan di peserta didik. Dalam menyusun visi ini diperlukan kekuatan kolaboratif dari pihak sekolah untuk menggali potensi-potensi dan kreativitas mewujudkan visi tersebut. Kekuatan kolaboratif ini disebut dengan pendekatan Inkuiri Apresiatif. Serta untuk mendukung mengejewantahkan visi tersebut, diperlukan proses pembiasaan budaya-budaya positif di sekolah yang diawali dengan menganalisis kebutuhan peserta didik, menyusun dan menyepakati keyakinan sekolah untuk memunculkan motivasi intrinsik peserta didik yang kemudian membentuk disiplin positif di diri peserta didik.

Untuk membentuk disiplin positif, guru perlu menganalisis kebutuhan dasar peserta didik terlebih dahulu untuk menangani peserta didik yang melakukan pelanggaran di sekolah. Kemudian, guru bisa memposisikan diri menjadi manajer dengan menerapkan langkah-langkah segitiga resititusi. Materi budaya positif ini menguatkan saya sebagai guru untuk mempraktikkan posisi manajer agar diterapkan kepada peserta didik supaya mereka merasa dipahami, disayangi, dan dimiliki.

Setelah menerapkan budaya positif, saya mencoba memahami perspektif peserta didik dengan menyampaikan yang perlu mereka lakukan dengan cara penyampaian yang tidak menjatuhkan harga diri mereka.

Contohnya, di Sekolah saya, ada satu orang peserta didik yang sering melakukan pelanggaran. Dulunya, saya sering menegur perbuatannya dengan memposisikan diri sebagai pembuat rasa bersalah. Posisi ini sangat tidak memberikan efek kepada peserta didik tersebut. Setelah saya mendapatkan penguatan di modul budaya positif ini, saya menerapkan posisi manajer untuk menangani peserta didik tersebut. Alhasil, peserta didik tersebut mau mengikuti budaya-budaya positif walaupun terkadang masih melakukan beberapa kali pelanggaran. Namun, peserta didik ini sudah menunjukkan perubahan kecil.

Melihat perubahan kecil di peserta didik tersebut membuat saya semangat untuk memposisikan diri sebagai manajer bukan sebagai pembuat merasa bersalah. Bukti nyata ini menjadi penguat bagi saya untuk mempraktikkan posisi manajer dengan menerapkan langkah-langkah segitiga restitusi.

Dalam menerapkan langkah-langkah segitiga resitusi perlu membangun kesepakatan dengan peserta didik. Saat ini, saya masih membuat kesepakatan dengan peserta didik kelas 9. Ke depannya, saya perlu membangun kesepakatan sekolah bersama seluruh peserta didik serta turut melibatkan semua pihak sekolah.

Jauh sebelum mempelajari materi budaya positif ini, saya sering menerapkan posisi pembuat merasa bersalah kepada peserta didik yang melakukan pelanggaran. Di posisi ini, saya merasa emosi saya tersalurkan namun tidak dengan efek yang dirasakan oleh peserta didik. Beberapa peserta didik menunjukkan disiplin positif saat saya memposisikan diri sebagai pembuat merasa bersalah. Namun, untuk peserta didik yang sering melakukan pelanggaran, memberikan merasa bersalah kepada mereka tidak membuahkan apa-apa, hanya bentuk pelanggaran lain lagi. Setelah mempelajari modul ini, saya menerapkan posisi manajer walaupun kesepakatan sekolah belum ada. Saya bertanya dengan nada rendah, menanyakan alasan mereka, kemudian menstabilkan identitas mereka agar mereka merasa dipahami.

Umumnya, posisi manajer akan menerapkan segitiga restitusi disertai dengan nada suara yang rendah. Selama ini, saya belum sepenuhnya menerapkan langkah-langkah segitiga resititusi di sekolah. Menstabilkan identitas dan memvalidkan perbuatan merupakan langkah-langkah yang sering saya tempuh karena keyakinan kelas yang belum disepakati secara menyeluruh oleh peserta didik.

Materi budaya positif ini sangat memberikan penguatan kepada guru penggerak untuk menerapkan budaya-budaya positif untuk membentuk disiplin positif di lingkungan sekolah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline