*Grafik Kematian gajah dan manusia akibat konflik gajah – manusia di propinsi Riau (Kematian gajah juga dalam konteks upaya perburuan) dalam tahun.
Oleh Wishnu Sukmantoro
Beberapa tahun terakhir ini, perlindungan gajah sumatera dalam cobaan yang berat. Salah satu penyebabnya adalah kematian gajah yang tinggi di Sumatera sejak tahun 2012 dan kenaikan tingkat kematian tersebut signifikan. Untuk kasus Riau, catatan kematian gajah tahun 2009 adalah 8 individu kematian gajah dan tahun 2012 meningkat mencapai 15 individu (hampir 100%) dan di tahun 2013 adalah 16 individu. Tahun 2014, catatan terbaru pada tanggal 16 Februari 2014, 7 individu gajah mati di wilayah Selatan Tesso Nilo, Riau. Meskipun hanya tinggal tulang belulang yang ditemukan, tetapi masih adanya kematian gajah di Riau atau Sumatera secara keseluruhan adalah potret buram bagi masa depan kelangsungan populasi Gajah Sumatera.
Di dunia, Gajah sumatera dikatagorikan sub jenis tersendiri dari 4 sub jenis dari Gajah Asia sehingga Gajah Sumatera merupakan sub jenis yang spesifik. Spesifik dan populasi yang dianggap kecil dan terus menurun menyebabkan satwa ini masuk katagori paling kritis menuju kepunahan (critically endangered) menurut lembaga IUCN yaitu lembaga yang salah satu bidangnya memuat daftar jenis mahluk hidup yang terancam punah di dunia. Dari estimasi yang dilakukan Forum Konservasi gajah Indonesia (FKGI), saat ini populasi Gajah Sumatera hanya berkisar antara 2.400 Sampai 2.800 individu dan di propinsi Riau terestimasi 330 – 360 individu tahun 2010 saja. Jumlah ini tentu berkurang sejak kematian gajah di Propinsi Riau sampai tahun 2014 ini.
Secara umum, saat ini terdapat 9 kantong gajah di propinsi Riau. Kantong gajah ini merepresentasikan jumlah klan gajah dalam satu wilayah jelajah besar. Beberapa klan gajah telah dianalisa dalam konteks wilayah jelajah dan populasi dengan menggunakan metode standar misalnya penggunaan GPS Collar untuk mengecek wilayah jelajah gajah sumatera di beberapa kantong gajah di Riau; 2 kantong gajah sumatera di Tesso Nilo, satu kantung gajah di Balai Raja dan kantong Gajah di Serangge dan Pemayungan perbatasan Riau – Jambi. Jumlah kantong ini menurun dari data tahun 2005 yaitu 12 kantong gajah dimana kantong gajah yang hilang berada di wilayah perbatasan Riau – Sumatera Utara dan dua kantong di wilayah Rimbang Baling – Bukit Bungkuk. Ke-3 kantong ini diperkirakan punah karena peristiwa penangkapan gajah oleh pemerintah tahun 2000-2006 dan kematian oleh konflik.
Realitas terkini kantong gajah
Persoalan terbesar terhadap kelestarian gajah Sumatera adalah penurunan habitat yang terus menerus terjadi, konflik gajah manusia yang menyebabkan kematian keduanya dan perburuan liar untuk gading. Secara umum, 70-80% habitat gajah sumatera saat ini hilang dan digantikan oleh pemukiman masyarakat, lahan garapan untuk kebun sawit masyarakat dan perusahaan, lahan untuk HTI perusahaan dan real penggunaan lain. Penurunan habitat lahan merupakan persoalan terberat bagi populasi gajah sumatra, Persoalan penurunan lahan hutan ini mengakibatkan meningkatnya konflik gajah manusia. Catatan tahun 2001 – 2012 adalah 126 indiidu gajah mati akibat konflik dan 29 jiwa manusia meninggal. Catatan ini menjadi persoalan penting terutama mendorong terbangunnya berbagai upaya mitigasi konflik gajah manusia setelahnya. Posisi perburuan liar akhir-akhir ini diindikasi meningkat sejak tahun 2012 dmana 90% gajah mati adalah kehilangan gadingnya, cttan yang sama terjadi di tahun 2013 dan catatan terakhir kematian gajah tahun 2014 di wilayah konsesi HTI Arara Abadi atau di kantong Giam Siak. JIka diestimasi kematian gajah di Riau antara 15 – 18 individu per tahun, 20 tahun mendatang, populasi Gajah Sumatera di Riau akan punah (apabila kondisi jumlah angka kematian stabil dan grafik linear). Tetapi masalahnya adalah estimasi kematian gajah sumatera di Riau adalah estimasi berdasarkan perjumpaan gajah mati dan tingginya aktivitas monitoring satwa liar di beberapa kantong gajah di Riau. Wilayah-wilayah yang tidak intensif dilakukan monitoring, kematian gajah sangat mungkin tidak terdeteksi. Jadi asumsi 20 tahun gajah sumatera punah di Riau bisa jadi merupakan angka moderat dan faktanya bisa jauh lebih cepat kepunahannya.
Secara realistis di Riau dan di banyak propinsi lain di Sumatera, kantong-kantong gajah sumatera dalam kondisi yang kritis terutama perubahan kondisi habitat menjadi wilayah binaan masyarakat. Di Riau, sebelum tahun 2009 dan dari hasil studi yang dilakukan oleh Ajay Desai dan Samsuardi 2009, 4 kantong gajah sumatera yang dianggap masih dalam kondisi yang baik yaitu dua kantong gajah sumatera di Tesso Nilo (sebagian wilayah jelajah gajah ini di dalam Taman Nasional Tesso Nilo) dan di wilayah kantong gajah Serangge dan Pemayungan (perbatasan Riau – Jambi). Ke-4 kantong gajah ini dianggap sebagai perlindungan terakhir. Tahun 2012, asumsi ini berubah setelah terjadi kehancuran besar-besaran Tesso Nilo termasuk di dalam areal taman nasional sendiri) dan wilayah Serangge- Pemayungan karena pembukaan perkebunan kelapa sawit dan perambahan hutan oleh masyarakat. Ke-5 kantong gajah lainnya di Riau sudah dianggap tidak dapat terselamatkan karena tidak ada habitat yang memadai.
Tahun 2010, strategi penyelamatan gajah sumatera mengalami perubahan setelah terlihat dalam kasus kantong Balai Raja yang memiliki tingkat konflik gajah – manusia tertinggi di Riau dengan habitat yang hampir 100% habis karena okupasi lahan oleh masyarakat. Di Balai Raja, populasi gajah sumatera dalam kondisi yang stabil antara 35-45 individu gajah (meski angka populasi ini dianggap kecil), di beberapa lokasi okupasi lahan menyisakan lokasi-lokasi pakan dan beberapa lokasi, mulai terjadi penerimaan masyarakat terhadap gajah tersebut. Hasil studi jejak dan kotoran dan penggunaan GPS Collar, wilayah jelajah gajah tersebut masih mencapai 40,000 ha di dalam areal suaka margasatwa yang telah hilang dan di luar kawasan konservasi tersebut. Sehingga, dalam tahun-tahun terakhir, potensi penyelamatan populasi gajah sumatera di wilayah lahan yang telah terokupasi oleh masyarakat semakin tinggi terutama dalam menjaga kawasan-kawasan yan tidak dipakai masyarakat tetapi menyisakan ruang makan dan aktivitas bagi gajah sumatera.
Sejak tahun 2004, berbagai lembaga terutama pemerintah, LSM dan perusahaan mengembangkan mitigasi konflik gajah – manusia melalui metode mitigasi konflik statik missalnya pembuatan parit gajah dan electric fence dan mitigasi konflik yang dinamis yaitu dengan flying squad (unit pasukan gajah reaksi cepat). Parit gajah dan electric fence umumnya mengalami kendala dalam pemeliharaan dan monitoring alat ini. Sedangkan unit flying squad dimana minimal 4 ekor gajah jinak dijadikan satwa untuk membantu mitigasi konflik (sesuai standar prosedur operasional), merupakan unit yang efektif dan berjalan sampai saat ini untuk memitigasi konflik gajah – manusia dalam skala lokal. Di beberapa kantong gajah seperti Tesso Nilo dan Balai Raja, unit ini berjalan meskipun beberapa diantaranya belum optimal. Catatan Tesso Nilo dari hasil monitoring tahunan unit ini, minimal dalam satu tahun, flying squad dapat mengurangi tingkat konflik mencapai 64% yang otomatis mengurangi tingkat kerugian konflik misalnya kerusakan bangunan dan tanaman kebun atau pangan. Tehnik yang belum dikembangkan dan potensi ke depan adalah kombinasi peminaan habitat gajah dan mitigasi konflik. Dengan pembinaan habitat yaitu mendorong optimalisasi kawasan-kawasan yang bisa dijadikan habitat potensial dan dikelola secara optimal untuk kawasan pakan dan kebutuhan air dan mineral gajah, populasi gajah sumatera dapat dikontrol pergerakannya karena tercukupi kebutuhan pakan, air dan mineral.
Masa Depan Suram
Persoalan – persoalan laju perubahan bentang lahan yng tidak terselesaikan, perambahan di dalam kawasan konservasi legal dan belum ada penanganan kematian gajah terutama penegakan hukum, meskipun berbagai upaya dilakukan menjadi penyebab bahwa populasi gajah sumatera di Riau dan Sumatera secara keseluruhan dalam kondisi masa depan yang suram. Dalam tiga tahun terakhir, penegakan hukum misalnya, menjadi sorotan utama termasuk berbagai kritikan dalam pelaksanaannya yang telah dimuat dalam berbagai media termasuk surat kabar cetak, elektronik dan mimbar-mimbar diskusi. Dalam konteks ini, penegak hukum memang kesulitan dalam mengungkap pelaku karena alat bukti dan persoalan teknis dalam penyidikan kasus. Di sisi lain, dampak dari tidak adanya hukum di mata masyarakat bahwa membunuh gajah itu tidak menjadi persoalan hukum dan masyarakatpun bisa belajar dari tata cara membunuh gajah yang efektif.
Tahun 2012, aibat kematian gajah yang tinggi terutama di kantong-kantong gajah Tesso Nilo, beberapa lembaga melakukan studi mengenai beberapa pestisida yang dipastikan sebagai material senyawa untuk membunuh gajah di alam. Hasil studi ini cukup mencengangkan karena pestisida ini yang seharusnya penyebarannya terbatas seperti Potassium cyanide dan Zinc phospide terjual bebas di toko – toko penjual pupuk dan pestisida. Minimal lebih 35 toko penjual pupuk dan pestisida di sekitar Pekanbaru, Pelalawan, Indragiri Hulu dan Kuantan Sengingi menjual racun gajah ini. Uniknya, beberapa penjual diantaranya justru memberikan tips-tips cara menggunakan pestisida (jenis rodentisida) ini termasuk untuk gajah. Jadi, tidak adanya pengetahuan mengenai gajah yang dilindungi dan tidak adanya penegakan hukum di mata masyarakat, pembunuhan gajah menjadi hal yang lumrah dan kecenderungan hal yang biasa. Resiko dari sini dapat ditanggung apabila pengetahuan membunuh gajah dengan racun ini menjadi umum di masyarakat, dapat dibayangkan mimpi buruknya di kemudian hari.
Bagaimana target stakeholder terutama pemerintah dan para penggiat konservasi gajah tentang kenaikan populasi gajah sumatera sebanyak 3 % di alam (sesuai kebijakan Kementerian kehutanan RI)? Kondisi masa depan yang suram ini identik dengan kepastian kegagalan target stakeholder tersebut minimal dalam menstabilkan populasi gajah di alam. Kondisi ini dapat dijadikan peringatan bagi stakeholder terutama penggiat konservasi gajah untuk lebih meningkatkan sumber daya dan kinerjanya dalam mengurangi laju kematian gajah.
Solusinya
Bagaimanapun persoalan gajah sumatera dan kondisii habitatnya dalam permasalahan yang kompleks saat ini. Upaya – upaya mitigasi konflik yang telah dilakukan berbagai stakeholder sepert pemerintah, LSM dan perusahaan merupakan solusi yang yang baik dan tepat dilakukan. Duplikasi-duplikasi metode mitigasi konflik seperti flying squad (unit gajah reaksi cepat) diberbagai stakeholder baik pemerintah kabupaten dan perusahaan dan mendorong jaringan unit miitigasi konflik mandiri di tingkat masyarakat terutama di lokasi-lokasi konsentrasi konflik gajah manusia yang tinggi dapat mempercepat pnurunan laju konflik gajah – manusia secara menyeluruh di wilayah Riau dan persoalan konflik dapat teratasi.
Bagaimana keinginan masyarakat mengenai ganti rugi akibat konflik yang merusak kebun masyarakat? Dahulu program ini efektif dilakukan dibeberapa tempat di India dan program orangutan di Indonesia, tetapi dalam impelementasi di kemudian hari menjadi momen penyelewengan untuk mendapatkan bantuan atau pendanaan dengan motif ganti rugi akibat konflik. Sehingga, ganti rugi akibat konflik menjadi bias dalam implementasinya dan di India sendiri sudah dihentikan.
Penngkatan kemampuan penegak hukum dalam melakukan penyidikan dan pengumpulan alat bukti. Persoalan terbesar dari penegakan hukum adalah pengumpulan alat bukti dari kasus kematian gajah. Otopsi dan penyisiran lokasi tempat kejadian perkara selalu dilakukan apabla terjadi kematian gajah, tetapi hasil ini tidak mengarahkan kepada pelaku. Upaya-upaya yang bersifat investigasi dan penyidikan terutama bagi pelaku menjadi fokus utama untuk mengungkap kasus pembunuhan satwa ini. Selain ketakutan banyak pihak bahwa motif membunuh gajah dengan teknik peracunan menjadi hal umum dan dapat dipelajari secara mudah di masyarakat. Perburuan gading sebagai motif adalah ancaman yang tinggi. Kasus Gajah Afrika sampai tahun 2013 dimana diperkirakan 22,000 gajah mati terbunuh dalam kurun waktu satu tahun (National Geography, 12 Januari 2014). Motif terbesar adalah peerburuan gading gajah. Pemerintah negara setempat dan LSM internasional sampai hari inipun berupaya bahu membahu dalam melakukan penegakan hukum termasuk penyitaan gading gajah di banyak negara di asia termasuk Indonesia. Efek dari penguatan penegakan hukum di Afrika dapat berdampak pada gajah sumatera dimana pemburu professional memindahkan wilayah garapannya ke lokasi yang dianggap lemah hukum.
Pembinaan habitat gajah yaitu dengan melakukan rehabilitasi lahan dengan tumbuhan pakan gajah, menyediakan mineral artifisial dan air adalah satu satu inisiatif baru. Di Indonesia, inisiatif ini telah dilakukan untuk satwa lain tetapi untuk spesifik gajah belum pernah dilakukan. Pembinaan habitat gajah adalah spesifik di lokasi-lokasi yang sudah tidak memiliki habitat memadai, kawasan-kawasan konservasi yang sudah habis dirambah. Pemetaan pergerakan gajah dan lahan-lahan yang tidak digarap masyarakat adalah fokus utama dalam penerapan metode ini. Beberqpa jenis tumbuhan pakan yang penting bagi gajah sumatera adalah Gramineae (berbagai jenis rumput) dan Musaseae (berbagai jenis pisang). Kedua famili tumbuhan ini ditanam dilokasi-lokasi target. Penanaman jenis-jenis pakan gajah ini ilakukan secara intensif untuk mencukupi kebutuhan pakan gajah setiap saat dan pemilihan tanaman pakan gajah yang ditanam bukan sekali cabut lalu musnah, tetapi jenis-jenis rumput-rumputan dengan akar serabut dan rimpang dimana berkali-kali tercabut tidak akan musnah atau hilang (akan selalu tumbuh kembali). Kemudian di lokasi tersebut diberikan mineral artificial yaitu berupa garam-garaman mineral dan air. Lokasi-lokasi pembinaan habitat dimonitor atau dipantau secara berkala dan ketat agar tidak terjadi gangguan terhadap gajah dan melihat dari pola intensitas kedatangan gajah pasca pembinaan habitat tersebut.
Bagi masyarakat umum, perubahan pola pikir pertanian dan perkebunan adalah salah satu cara meminimalisir konflik. Penggunanan tanaman pertanian dan perkebunan yang tidak disukai gajah tetapi bernilai ekonomi tinggi adalah salah satu cara. Badan riset nasional ataupun daerah, LSM ataupun perusahaan dalam CSR (Corporate Social Responsibility) dapat melakukan inisiasi ini untuk masyarakat umum. Di beberapa tempat di Thailand misalnya, memisahkan gajah dari pertanian nanas masyarakat yaitu selain dilakukan pembinaan habitat di dalam kawasan konservasi, wilayah perbatasan kawasan ditanami tanaman keras yang tidak disukai gajah sebagai buffer meminimalisir konflik gajah – manusia kemudian perkebunan nenas masyarakat. Nenas sendiri merupakan tanaman dan buah yang disukai oleh gajah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H