Lihat ke Halaman Asli

Iast Wiastuti

Menyenangi hal-hal yg beraktualisasi ke masyarakat

Matematika Lalulintas dan Subsidi BBM (Solusi Kemacetan Jakarta)

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bayangkanlah suatu hari Jakarta tanpa kemacetan…. Pernahkah kita berfikir berapa juta kendaraan yang beredar di Jakarta setiap hari? Dari sekian juta kendaraan yang meliuk-liuk tersebut berapa ribu kilometer jalan yang bisa menampung mereka. Dan pernahkah juga kita berpikir berapa juta liter bahan bakar yang dikonsumsi oleh jutaan kendaraan tersebut? Serta berapa trilyun rupiah yang harus disediakan oleh pemerintah untuk mensubsidi BBM, karena nyatanya BBM kita adalah BBM yang paling murah sedunia apalagi bila dibandingkan dengan harga minyak mentah dunia saat ini? Dari kesemua pertanyaan diatas, ada pertanyaan menggelitik dalam benak saya; mengapa manusia Indonesia, khususnya manusia Jakarta lebih suka menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan dengan kendaraan umum. Lihatlah lalulintas Jakarta pada pagi hari, hampir semua kendaraan pribadi menyesaki seluruh ruas jalan yang ada. Dari mulai sepeda motor sampai berbagai kendaraan pribadi dalam berbagai kelas lainnya. Bayangkanlah apabila 10% saja dari 15 juta penduduk Jakarta dan sekitarnya bergerak dengan menggunakan moda transportasi pribadi tersebut. Maka itu berarti ada 1,5 juta orang yang menggunakan kendaraan pribadi dan sisanya menggunakan kendaraan umum. Problemnya, kendaraan umum yang ada di Jakarta-pun adalah tipe kendaraan yang tidak bersifat massal seperti Bus dan Kereta Api. Artinya kendaraan umum yang banyak beredar lebih kepada kendaraan dengan muatan penumpang tidak banyak seperti mikrolet, angkot, taksi dan bahkan ojek. Dan model kendaraan-kendaraan seperti inilah yang memberikan juga kontribusi kemacetan yang semakin luar biasa di ibukota. Ketika kita berbicara tentang kemacetan, maka mungkin sebagian besar dari kita akan setuju, bahwa isu ini telah menjadi permasalahan yang menyedot segala energi kita setiap hari. Kemacetan menjadi sebuah masalah sosial yang tidak lepas dari kehidupan kita. Dampak ikutannya pun terasa menyentuh kepada perubahan budaya bahkan perilaku masyarakat Jakarta yang nyaris tidak perduli dengan lingkungannya. Menjadi menarik untuk mengantarkan tulisan ini dengan berbagai pertanyaan besar lainnya, seperti; Apakah kita semua bisa memecahkan kebuntuan solusi atas sesaknya Jakarta saat ini? Judul tulisan ini mencoba menyibak berbagai isu diatas dengan sebuah logika sederhana, logika matematika. Secara sederhana, lompatan imajinasi dalam rangkaian logika matematika yang saya coba rambatkan dalam benak pembaca sebenarnya berhulu kepada pertanyaan besar saya; “Mengapa masyarakat Jakarta lebih tertarik menggunakan kendaraan pribadi daripada kendaraan umum?” Pertanyaan besar saya diatas tentunya akan menimbulkan jutaan varian jawaban tergantung dari sisi mana latar belakang para pembaca. Namun jawaban umum yang sering kita dengar tentunya tidak akan jauh dari masalah kenyamanan dan keamanan. Lihatlah model moda transportasi umum yang ada saat ini, maka akan tergambarkan bagaimana cermin sebuah kota. Dalam tulisan ini saya mencoba berimajinasi dengan logika matematika sederhana, dengan thesa; “Masyarakat Jakarta akan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi apabila mereka merasa nyaman dan aman menggunakan kendaraan umum”. Arah dari thesa tersebut lebih kepada isu bagaimana Jakarta menata sebuah sistem transportasi umum yang nyaman dan aman kedepan. Untuk menjawab isu tersebut ada Logika sederha saya yang dirangkai dari sebuah mimpi indah saya dari New York sini tentang Jakarta. Bahwa Jakarta tentunya akan terhindar dari segala keruwetan kemacetan, karena masyarakatnya mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan beralih menggunakan moda transportasi umum yang nyaman dan aman serta tidak menimbulkan kemacetan. Sistem transportasi yang saya coba angkat adalah sebuah system transportasi yang sinergis dengan menggunakan sarana yang telah ada (jalan raya dan rel). Artinya kita tidak perlu menambah jalan baru, dan tidak perlu membangun rel baru. Yang perlu direkayasa hanyalah sistemnya. Sistem integrasi (Integrated System), antara jalur lalulintas jalan raya dan kereta api sudah sering kita dengar dari berbagi pakar. Namun satu hal yang ingin saya wacanakan adalah perlunya kita memikirkan penyediaan banyak bus yang nyaman dan aman (terutama bus bertingkat) lebih daripada kendaraan umum yang menampung muatan kecil (seperti bemo, bajay, mikrolet, angkot dan metro mini). Bandingkan jumlah manusia yang bisa diangkut oleh bus-bus tersebut (60-100 orang) dengan jumlah yang bisa diangkut oleh kendaraan-kendaraan kecil. Konsekwensi logis dari itu, tentunya pemerintah perlu memikirkan lagi untuk menyediakan bus dalam jumlah yang lebih banyak dan rute yang lebih luas serta menghilangkan angkutan kendaraan yang tidak bersifat masal atau setidaknya jalur mereka perlu ditata hanya untuk melayani daerah dengan kelas jalan tertentu. Problemnya adalah bagaimana dengan jenis transportasi lainnya yang telah ada? Terhadap kendaraan-kendaraan tersebut perlu diadakan “penebusan” oleh pemerintah dengan membeli kembali dari pemiliknya. Artinya pemerintah perlu menyiapkan anggaran khusus untuk menebus kendaraan-kendaraan transportasi umum selain bus yang ada saat ini dari pemiliknya (setelah itu bisa dilemparkan ke pasaran didaerah sebagai sarana transportasi disana), dan secara bersamaan menata rute, terminal, halte serta prasarana pendukung lainnya. Bagaimana dengan lapangan pekerjaan yang berkurang terhadap para supir-supir yang selama ini bergumul dijalanan? Dengan modal yang telah diberikan oleh pemerintah sebagai ganti untung dari kendaraan yang ditebus tadi, maka mereka bisa disiapkan untuk menjadi pengendara bus yang akan disiapkan atau apabila mereka tidak memenuhi persyaratan seleksi, maka bisa dipikirkan pekerjaan lain yang lebih layak terhadap mereka. Logika matematika sederhana saya; tentunya ini akan jauh lebih murah daripada trilyunan rupiah uang pemerintah yang terpakai untuk mensubisidi BBM Ini hanyalah sebuah mimpi, tapi semua kehidupan dimulai dari sebuah mimpi, Bayangkanlah suatu hari, Jakarta tanpa kemacetan…. Sebuah renungan dari New York Kombes Pol Krishna Murti source :https://www.facebook.com/notes/krishna-murti/matematika-lalulintas-dan-subsidi-bbm/10150494686953197

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline