Lihat ke Halaman Asli

Keadilan Sosial (Juga) Pancasila

Diperbarui: 3 Juni 2017   11:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Diskursus tentang Pancasila kembali menghangat. Pemaknaan parsial atas Pancasila kerap justru mereduksi idealisme dari Pancasila sendiri. Dinamika perdebatan antara Soekarno, H.A. Wachid Hasjim, H.Agoes Salim, Abikoeno Tjokrosoejoso, dan lainnya  dalam perumusan Pancasila dan UUD 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menegaskan bahwa Pancasila bukanlah falsafah yang bertentangan atau harus dipertentangkan dengan ideologi apapun di antara para perumusnya. Keberagaman identitas dan pemikiran dipersatukan dalam nilai ketuhanan dan kemanusiaan melalui permusyawaratan perwakilan untuk mencapai Indonesia yang berkeadilan sosial. Hakikinya, Pancasila bukanlah hiasan kalimat sakral dan keramat, namun itulah komitmen dan karakter kebangsaan dasar kebangsaan Indonesia.

Namun pemaknaan dan implementasi yang bias kekuasaan, pada akhirnya kerap mendelegitimasi Pancasila. Dalam sejarah kebangsaan Indonesia yang penuh liku, ada masa saat  Pancasila dimaknai sebagai keseragaman di atas nama keberagaman. Atas nama Pancasila, keberagaman yang berbeda dengan rezim justru dieliminasi. Bahkan yang mengkuatirkan, prinsip yang satu dipertentangkan atau diprioritaskan dari  prinsip lainnya. 

Pengedepanan yang sangat atas persatuan  kerap secara tidak langsung mengabaikan aspek keadilan sosial misalnya. Tanpa mengabaikan sila lainnya, faktanya‘ Keadilan Sosial’ merupakan perwujudan paling konkret dari prinsip-prinsip Pancasila, namun paling diabaikan (Yudi Latif, 2016). Padahal menurut Soekarno, Keadilan sosial adalah social rechtvaardigheid-nya Pancasila dan negara kebangsaan Indonesia. Sekalipun menjadi nomor penutup dari Pancasila, keadilan sosial justru merupakan tujuan dari 4 (empat) sila yang mendahuluinya (Notonagoro, 2014).

Pancasila dan Kesenjangan Ekonomi

Pertengahan Desember 2016, Laboratorium Pengukuran Ketahanan Nasional Lembaga Ketahanan Nasional (Labkurtannas Lemhannas), merilis Index Ketahanan Nasional yang mengindikasikan melemahnya indeks ketahanan ideologi (Pancasila) dalam kurun tujuh tahun terakhir. Ketahanan ideologi (Pancasila) perlahan turun sejak tahun 2010. Melemahnya ketahanan ideologi dapat juga dimaknai bahwa persatuan dan keadilan yang menjadi landasan demokrasi di Indonesia tengah dalam persoalan serius. Kesenjangan ekonomi (pendapatan dan kekayaan) disinyalir menjadi akar ekonomi disharmoni sosial dan radikalisme di Indonesia (Faisal Basri, 2017).

Menurut Faisal, sekalipun per September 2016, index nisbah ekonomi (gini ratio) membaik ke 0,397 (dari maksimum 1), namun merujuk data kekayaan yang dikeluarkan oleh lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, hanya satu persen saja orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Konsentrasi kekayaan pada 1 persen terkaya di Indonesia terburuk keempat di dunia setelah Rusia, India, dan Thailand. Jika dinaikkan menjadi 10 persen terkaya, penguasaannya mencapai 75,7 persen. Pengukuran ketimpangan pengeluaran sudah barang tentu lebih rendah ketimbang ketimpangan pendapatan (income inequality) maupun ketimpangan kekayaan (wealth inequality). Belum lagi, lanjut Faisal, kesenjangan sosial terjadi dalam politik ekonomi yang kapitalisme kroni.

Di sisi lain, atas nama pembangunan, kebijakan penggusuran paksa dan eksploitasi lingkungan hidup terhadap anak bangsa semakin marak. Menurut  LBH Jakarta, per 2016 sebanyak 4.210 orang harus merelakan properti satu-satunya digusur paksa di DKI Jakarta. Tak saja Jakarta, ribuan petani dan masyarakat adat dan sederhana di Majalengka (Jawa Barat), di wilayah pegunungan Kendeng  Jawa Tengah), ataupun Papua, dan berbagai komunitas masyarakat di Indonesia  harus merelakan “paksa” kekayaaan dan alam satu-satunya, harapan mereka hidup dan menghidupi keluarganya atas nama pembangunan. Ironis, di tengah negara yang slogannya ingin mengurangi kesenjangan dan menciptakan kesejahteraan sosial. Sementara, kian mudahnya korporasi dan pemodal meraih sumber daya. Reforma agraria masih tertahan di wacana. Keadilan sosial kian fatamorgana.

Kapitalisme Oligarki dan Politik Ekonomi Indonesia

Berdasarkan The Crony-Capitalism Index, Index yang dilakukan oleh The Economist dalam mengukur tingkat praktek bisnis di sektor kroni (crony sectors), Indonesia menempati posisi ke 7. Lebih buruk satu tingkat  dibandingkan tahun 2014. Kelompok milyarder di Indonesia mendapatkan dua pertiga kekayaannya dari praktek bisnis di sektor kroni (crony sectors), praktek bisnis karena kedekatan dengan kekuasaan. Tidaklah mengejutkan, mengingat apa yang pernah disampaikan Kunio (1988) sebagai erzats capitalism, praktek politik ekonomi yang sarat perburuan rente masa Orde Baru. Namun pasca reformasi, politik ekonomi masih belum beranjak dari pola relasi patronase yang oligarki kapitalis (Hadiz, 2005)

Oligarki kapitalis merupakan kekuatan bisnis yang menjalin hubungan “dekat” dan “informal” (relasi patronase) dengan kekuasaan negara dan lembaga-lembaganya berikut dengan kekuatan koersifnya dengan rente berbagai  kemudahan berupa antara lain lisensi, monopoli, subsidi, maupun kucuran kredit yang longgar, untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. 

Terjadinya reformasi, perubahan sistem dan struktur politik tidak serta merta mengakhiri pola dan politik ekonomi yang oligarkis tersebut. Elemen-elemen oligarkis telah menata kembali diri mereka di dalam jaringan patronase baru yang bersifat desentralistik, lebih cair dan saling bersaing satu sama lain. Perubahan institusional  demokratisasi, desentralisasi, dan deregulasi, dapat dimanfaatkan kembali oleh kekuatan ekonomi oligarkis lama untuk mempertahankan kekuasaan ekonominya (Hadiz, 2005 & Chua, 2009)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline