Lihat ke Halaman Asli

Wirys Wijaya

Menulis untuk belajar

Berorganisasi sebagai Warisan Sejarah Perempuan Indonesia

Diperbarui: 8 Maret 2022   12:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak tahun 1920-an perjuangan perempuan Indonesia terwujud dalam berbagai organisasi perempuan dan sekolah perempuan yang didirikan secara independen (di luar pemerintah kolonial). Berbagai macam organisasi tersebut akhirnya berhasil menyatukan kepentingannya dalam Kongres Perempuan Indonesia Pertama pada 22 Desember 1928. Hingga tahun 1950-an telah hidup sekira 70 organisasi perempuan di Indonesia yang tersebar di berbagai pulau dan berbagai kelompok agamis maupun nasionalis.

Isu Strategis  Perjuangan Perempuan

Perjuangan mereka mengandung isu strategis untuk memberdayakan perempuan dan memanusiakan perempuan sebagai subjek yang memiliki hak-hak asasi yang harus diakui oleh negara dan masyarakat, di antaranya:

Pertama, Pendidikan kaum perempuan. baik pendidikan kejuruan hingga pendidikan tinggi untuk mendukung perannya sebagai subjek pembangunan. Mulai dari kegiatan penyadaran pentingnya pendidikan, pendirian sekolah-sekolah perempuaan yang gratis, hingga pemberian beasiswa perempuan untuk melanjutkan jenjang studinya.

Kedua, Pemberantasan buta huruf. Mulanya 90% perempuan Indonesia buta huruf, juga sangat minim (kalau tidak disebut hampir tidak ada) guru perempuan.

Ketiga, Peningkatan kesadaran akan kesehatan wanita dan pelayanan kesehatan yang didasarkan ilmu kedokteran. Perempuan yang memiliki peran esensial melahirkan generasi namun tak dibekali dengan ilmu dan fasilitas yang memadai sehingga angka kematian ibu dan bayi sangat tinggi.  Pada sejarahnya, sangat umum dan marak perawatan hamil hingga melahirkan dipercayakan pada dukun yang tidak berbasis ilmu kesehatan.

Keempat, Pengaturan perkawinan dan perceraian dalam Undang-Undang untuk membangun keluarga yang sejahtera, stabil, dan bahagia sehingga menunjang pembangunan bangsa. Dahulu angka perceraian sampai 50% akibat krisis moral dan ekonomi. Organisasi perempuan bersatu untuk bisa mewujudkan pelarangan poligami; pengaturan perceraian sewenang-wenang oleh laki-laki; pengaturan batasan usia minimal untuk menikah; pelarangan kawin paksa; 

Kelima, Perlindungan hak-hak perempuan pekerja yang meliputi: cuti hamil dan melahirkan, cuti haid, kesamaan upah perempuan dan laki-laki dengan beban kerja yang sama. Kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki pekerja perlu berpijak pada kondisi masing-masing yang memiliki keistimewaan dan perbedaan sehingga bisa sama-sama memberikan peran yang optimal.

Keenam, Kemandirian ekonomi perempuan. Mulanya, perempuan tidak memiliki akses terhadap harta kekayaan dan sumber daya ekonomi karena hasil kerjanya diserahkan pada suami atau diatasnamakan suami. Namun, Kongres Perempuan Indonesia memperjuangkan pengakuan atas hak-hak ekonomi perempuan untuk bisa bekerja dan menikmati hasil kerja kerasnya.

Ketujuh, Kesetaraan derajat laki-laki dan perempuan di berbagai bidang sebagai output akhir yang diharapkan dari perjuangan pemberdayaan dan pengorganisasian perempuan Indonesia.

Titik Tolak Perjuangan

Perjuangan organisasi dan aktivis perempuan tersebut bukan berangkat dari ruang hampa, tapi dari persoalan riil masyarakat Indonesia yang memang merasakan penderitaan dan keresahan jika tidak segera ditangani. Salah satu contohnya tradisi memingit, pada perempuan ningrat sejak usia 10 tahun karena di usia 12 tahun mereka sudah dijodohkan dengan laki-laki yang kebanyakan sudah beristri.

Kartini ialah satu contoh nyata, ketika ia sudah tidak boleh melanjutkan pendidikan karena terikat tradisi. Ia merasakan kesengsaraan tidak bisa mengakses pendidikan dan penderitaan karena tidak memiliki pilihan untuk dipoligami.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline